Ramalan Louis Kraar 1988 pada Indonesia
Artikel ini merujuk artikel di google dengan judul "membangun pondasi kenegaraan"Â yang tak sengaja penulis baca. Beberapa hari yang lalu. Ingat pesan sang guru, ambil yang baik tinggalkan yang buruk, begitu juga pada hal membaca kontens.
Bermaksud baik sebagai evaluasi untuk perubahan. Berkaca diri bagi penulis secara pribadi. Yakni menepis ramalan Louis Kraar semoga tidak terbukti pada Bangsa Indonesia, semoga. Atau justru telah terbukti, terjadi sejak ia ramalkan. Kudupiye toh?
Sebagai pengamat negara-negara industri baru di Asia Timur, Louis Kraar pada tahun 1988 meramalkan bahwa Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi halaman belakang Asia Timur.
Ditinggalkan negara-negara tetangganya yang berkembang pesat menjadi negara-negara maju sedangkan kita masih berkutat jatuh bangun untuk keluar dari krisis multidimensi.
Ramalan Louis Kraar berpijak pada realitas bangsa Indonesia "lousy work ethick and serious corruption"Â pijakan opini. Sejak ramalan itu dikeluarkan ternyata semua yang diramalkan seakan terbukti. Nyata jadinya.
Diawali krisis finansial dan moneter 1998 menyebar pada berbagai ranah lain "krisis multidimensional" berlangsung hingga sekarang. Semakin akutnya krisis moral dan mental kita, memperparah keadaan. Menjadi indikator utama centang prenang permasalahan dan karut marutnya tata sistem dinegara kita.
Artinya sehebat apapun yang akan dibuat atau dilakukan pada dasarnya kembali mentaliti. Bisa jadi jargon revolusi mental yang dicanangkan presiden Jokowi bisa berkaitan pada kondisi real bangsa ini, penyakit akut penghambat kemajuan.
Sikap menyalahi tata sistem sebenarnya refleksi bagi pembuat atau pelaksananya yang memang bermental buruk tidak berbuat semestinya. Ya, kita paksa mereka dengan sistem, Ujar Presiden Jokowi, pada Ingat toh.
Ada analisa menarik dari  guru Antropologi dulu yang masih saya ingat sampai sekarang. Ia menyatakan bahwa kita terlalu terlena dengan kelebihan yang Tuhan berikan. Dan pada akhirnya membuat kita malas berpikir dan melakukan inovasi terobosan.
Berbeda dengan bangsa luar yang memang dituntut oleh kondisi alam yang keras sehingga mampu merespon tantangan ekstrim itu, semua daya akan mereka lakukan.Â
Misal, Bangsa nun disana beriklim subtropis empat, semi, gugur, dingin dan panas. Dari kondisi ini memacu mereka berpikir dan berupaya keras jangan sampai stok makan dimusim gugur atau dingin kehabisan.
Yang mana musim tersebut mereka biasanya liburan panjang dari semua aktivitas, Tamatlah hidup mereka. Jikalau tak berpikir sejauh itu dalam membaca tantangan siklus alam.
Namun berbeda dengan kita, yang aman dengan kondisi seperti ini, pada akhirnya membuat kita manja lambat laun menjadi malas berpikir dan berinovasi. Dan menjadi ciri karakter pada akhirnya.
Untuk itu sebagai negara besar. Jumlah penduduk besar dan sumber daya alam dan manusia yang besar. Tampaknya kita mesti berkaca pada satu negara yang kini bisa dianggap negara super power, Rival Negara Paman Sam (USA).
Secara ekonomi, teknologi, militer, melesat naik dan nomor dua didunia. Yakni belajar pada negara Tirai Bambu yaitu Tiongkok China.
Belajar dari Negara Tirai Bambu (Tiongkok)
Setelah Jerman, Italia dan Jepang Bertekuk Lutut menelan kekalahan perang dunia jilid dua rentang tahun 1939-1945. Muncullah dua negara besar sebagai pemenang yang rebutan untuk menjadi yang terkuat. Antara Paman Sam (USA) dan Beruang Merah (Uni Soviet).
Akhirnya, meletus istilah perang dingin. Perang bayangan antara mereka, perang ideologi komunis dan liberal. Seperti adanya Jerman Barat dan Jerman Timur, perang Vietnam dan sebagainya.
Namun prihal perang dingin tak berlangsung lama setelah keruntuhan Uni Soviet berakhir tahun 1991. Salah satu indikator kelemahan adalah sektor ekonomi. Walau dari sisi militer mereka sangat kuat waktu itu, termasuk sekarang masih, militer Rusia tak diragukan, Nuklir Bro!
Nah, istilah super power/police world bertumpu pada hanya Negara Paman Sam, tanpa ada kompetitor penyeimbang kekuatan. Disisi lain supaya ada lawan kisruh hegomony politic kepentingan pasca bahaya merah telah tiada.
Pada konteks ini, yang mesti diamati berdasarkan analisa receh versiku. Munculnya wajah baru dengan tumbuh dan berkembang raksasa baru, rival baru buat adidaya USA. Yaitu China.
Yang sebelumnya, macan ekonomi Asia seperti Jepang atau Korea Selatan seakan mulai beralih pada Negara Tirai Bambu. Terlampaui oleh Tiongkok. Produk Made In China serentak menguasai pasar regional asia bahkan eropa dan dunia.
Karena Indonesia 80 persen mayoritas beragama muslim. Seringkali munculnya isu rasis berhubungan anti china, antek aseng , boikot produk China, stop impor dan sebagainya. Berkembang hingga sekarang.Â
Yuk udahan, berhenti. Kalau berhenti impor gimana nutupnya, kalau boikot yang kita gunakan sebagian besar buatan mereka, anti China kok pengusaha besar dan investor, gimana sama lapangan pekerjaan?
Merenung, Mari baca hadist pendidikan yang kerap guru agama/ngaji sampaikan. "Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China." Terlepas sagih apa tidak, maafkanlah bukan ahli/perawi hadist.
Membuka mata kita melihat fakta saat sekarang. Bahwa China mampu menyaingi negara Paman Sam? Jadi, hadist bak ramalan buat kita.Â
Minimal belajar proses mengapa China bisa unggul. Terlebih dari sektor ekonomi dan teknologi. Salah satu cara bangsa ini menjadi kuat. Sejajar dengan negara lain, ya kan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H