Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bumerang Narasi Politikus Berpolitik, Simpati Berujung Benci

12 Agustus 2021   10:59 Diperbarui: 12 Agustus 2021   11:03 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrated by: pikiran-rakyat.com

Bahayanya Narasi Politikus, Kejenuhan Rakyat

Maraknya pemasangan baliho bergambarkan ketua umum DPR Puan Maharani, dengan dalih inisiatif kader PDI Perjuangan didaerah.  

Sebagai apresiasi dan loyalitas ketaatan tinggi kader yang bernaung dibawah bendera partai Banteng. Menuai ragam tafsir.

Asumsi pun berkembang dalam menilai kontek dan konten, sirat unsur atas dipasangnya baliho diberbagai sudut kota.

Narasi politis dari sisi pengamatan analis dan kompetitor politik. Riuh diringi tandatanya? Dasar berargumen, beropini.

Pada satu sisi resfect dengan loyalitas kader daerah/wilayah. Kesetiaannya atas partai. Dan satu sisi lebih menghubungkan nuansa politis. Yakni prihal hajat rakyat di tahun 2024.

Momentum politik katanya. Sudah bukan rahasia umum lagi bila dikaitkan pada kanca perpolitikan. Monuver politik tepatnya, triki yang acapkali terjadi dan selalu berulang. 

Baik dengan pola yang sama atau bermain sandiwara/drama tak kasat mata. Lazim untuk dilakukan, asalkan motif tujuan yang sebenarnya tercapai.

Begitupun seliweran ucapan selamat 'bangga' pada atlet Bulutangkis ramai kemarin. Poster ucapan selamat dari para politikus, ketara kesan politisnya.

Bila latarbelakang poster gamblang tertera atribut parpol. Notis  politik terlihat gamblang bagi publik, bukan.

Ragam tata cara merupakan kelumrahan berpolitik. Untuk menciptkan persepsi, menggiring opini dan membangun opini baik dimata publik. 

Skenario apapun biasa dilakukan. Dari berpakaian warna putih atau hitam, hingga berpakaian yang susah untuk dibedahkan.

Antara membedahkan warna hitam atau putih. Campuran dua warna, warna keabu-abuan. Salah atau benar sing penting menang atau kalah, hakikat berpolitik.

Ini contoh kecil dari skenario dimainkan. Selain seputar cerita baliho Puan. Cerita Ganjar, Anis hingga kudeta Demokrat. Peristiwa menarik dari dinamika sudut pandang kacamata politik.

Bukan sesuatu hal baru, bukan yang pertama kali skenario dijalanka. Banyak bila bicara soal geliat politik. 

Jauh-jauh hari sering kali dilakukan. Baik pra kemerdekaan hingga sekarang, tujuan politik pasti sama. Yang jelas berbeda polesannya yang bermetamorfosa.

Indikasi perbedaan ini erat berhubungan pada perkembangan masa. Masa lalu atau sekarang yakni pada nuansa pemerintahan yang bekembang. 

Orla, Orba, Reformasi. Plus teknologi, media. Media yang digunakan dalam berpolitik. Kekuatan akses media massa dalam menjaring simpati publik.

Point penting pasca perubahan era, arus informasi dan komunikasi teknologi. Selain perahu, simpatisan atau nutrisi finansial. 

Jadi bermain diksi politis via media massa bukan hal baru dan asing untuk sekarang. Keharusan membangun 'personal branding' bagi parpol dan politikus.

Khususnya menarik puluhan juta suara pemilih generasi mileneal. Yang erat dengan kedekatan mereka pada era digital.

Untuk 'mlek politik' bila diksi dibangun kerap muncul intonasi kebencian dan makian. Mungkin dijauhi mereka, pasalnya edukasi sekaligus hiburan ranah usia mesti digubris kan.

Selain itu, publik sudah pada jenuh bila narasi elit politik selalu mencatutkan isu sensitif. Hanya tuk meraih suara rakyat.

Rakyat hanya jadi instrument jualan politik belaka. Maka, tujuan utama meraih simpati akhirnya malah dijauhi ujungnya pada dibenci. Ha...

Cek ombak, belah bambu, dadu kuncang. Catur dalam menjalan skenario politik. Terlebih gaya narasi yang akan dibangung menyonsong pemilu serentak 2024.

Maka langkah taktis bermain politik pada cara yang kerap muncul pasca pemilu di media massa. Hoaks, tudingan person, Isu identitas plus SARA sudah tak menarik lagi dijadikan komiditi jualan, kan.

Rakyat pada jenuh pada narasi kebencian, dan suka pada keoptimisan menuju perubahan Indonesia kedepan. Bisa setara pada bangsa-bangsa yang lebih maju.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun