Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka 100 Persen Tan Malaka, Berdikarilah Petani Indonesia

8 Agustus 2021   10:17 Diperbarui: 8 Agustus 2021   11:01 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merdeka 100 Persen, Tan Malaka

Riwayat Singkat Tan Malaka

Lahir di Pandan Gadang Sumatera Barat 2 Juni 1897 dengan nama asli Ibrahim Datuk Tan Malaka. Dan wafat di Kediri Jawa Timur pada tanggal 21 Februari 1949, menghembuskan nafas terakhir dan menutup mata pada usia 51 tahun.

Dikenal dengan sosok revolusioner sejati, sosialis nasionalis berhaluan kiri. Tak heran apabila Tan Malaka dianggap ancaman yang berbahaya bagi penjajah, dan nyawanya selalu terancam. 

Hidupnya selalu dalam intaian, kejar-kejaran seperti bermain kucing-kucingan dalam pengejaran pihak asing. Bahkan bersebrangan dengan para tokoh perjuangan nasional lainnya. Dan dikelompokan sebagai barisan partai komunis, padahal pertentangan para elit PKI  dengan Tan Malaka sangat jelas.

Pemikiran tentang perjuangan bangsa melawan para penjajah dan sistem membangun bangsa ia torehkan dalam karya-karyanya. Sumbangsih gagasan Tan Malaka menjadi referensi dalam merancang bentuk Indonesia, oleh founding fathers of Indonesia.

Ideologi pemikiran Tan Malaka termakhtub didalam Karya Madilog (materialisme, dialektika, logika). Dan gagasan menuju Republik Indonesia dalam buku Naar de Republiek Indonesia. Anti bernegosiasi dan berdiplomasi pada pihak penjajah, ketara dalam ungkapannya "merdeka 100 persen."

Lalu apa Merdeka 100 Persen Tan Malaka? 

Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka (1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100% (1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.

Kemerdekaan haruslah 100 persen tak boleh ditawar-tawar. Sebuah negara harus mandiri menguasai kekayaan alamnya dan mengelola negerinya tanpa ada intervensi asing.

Menurutku, Merdeka 100 persen Tan Malaka, ikhtiar kita menjadi pemain dinegeri kita sendiri, kita bukan selalu atau hanya menjadi penonton di tanah negeri sendiri. Hal ini senada pada tujuan Undang-undang 45, relevan pada pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 kan.

Kita mesti ambil barisan untuk tunjuk siapa kita. Bahwa kita bisa sama tinggi tegak sama dengan mereka. Barangkali inilah Merdeka sesungguhnya versi awamologiku. Partisipan untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan untuk masa sekarang.

Dalam artikel remeh temeh kali ini, penulis mencoba mengaitkan konsep merdeka 100 persen Tan Malaka dengan dunia pertanian kita. Berdasarkan opini belaka pada fakta didepan mata yang selalu tak habis pikir dikepala penulis.

Tanah Subur, Namun Bangsa belum Juga Makmur!
Dikenal sebagai negara agraris, namun dunia tani kita masih saja ironis. Piye khabare...

Mengutip akronim dengan kata berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan Petani (penyanggah tatanan negara Indonesia) dari Presiden Soekarno. 

Ini relevan untuk bangsa kita. Dalam artian tidak tergantung kepada siapa pun, dan kita mampu untuk menjadi bangsa yang mandiri. Nah, inilah prihal menarik danotentik versiku untuk disimak, dikupas, dikubak, dan ditindak?

Mengapa? 

Negara kita dikenal dengan negara pertanian Kalung zamrud khatulistiwa. Tanah yang kaya akan sumber daya alam, bumi yang subur. Namun petani belum menunjukan taringnya sebagai penyanggah tatanan itu. 

Petani masih belum mampu mewujudkan swasembada pangan. Jangankan ekspor hasil tani pada bangsa lain, untuk kebutuhan bangsa sendiri masih saja belum tercukupi, bukan.

Prihal impor, kekurangan pasokan pangan ditanah air, masih bergantung pada impor negara luar. Ini fakta, seperti impor beras, bawang, kedelai dan sebagainya. Jelas menyatakan bahwa kita belum membuktikan julukan dulu, sebagai bangsa agraris.

Belum lagi, dilihat pada sisi kesejahteraan dan image tentang bekerja sebagai petani. Yang masih dipandang sebelah mata, pekerjaan petani menjadi momok oleh bangsanya sendiri. Kalau bisa jangan sampai generasi selanjutny dan anak-anak bekerja menjadi Petani? Ujar masyarakat di perkampungan.

Mindset para orang tua beranggapan seperti itu. Pendidikan yang tinggi seharusnya berkerja tidak menjadi seorang petani.

Siapakah yang mesti dipertanyakan dalam hal ini. Dan mampu menepis asumsi miring ini, teman?

Mungkin, problematika terbesar bagi petani lebih kepada pemasaran, kepastian harga terkadang mempengaruhi dunia pertanian tanah air. Selain pendampingan wawasan bagi mereka, akan dunia tani. 

Rangkulan bagi pemerintah, untuk merealisasikan visi misi dunia tani dengan terobosan inovatif untuk membuktikan julukan sebagai negara agraris. 

Disamping kita dan pemerintah. Berdikari dengan jalan memperhatikan Petani kita. Maka ini bisa dikatakan Merdeka 100 persen Tan Malaka. Versiku orang deso bekerja sebagai petani. Dalam menyongsong 17 Agustus  2021 tahun kali ini. MERDEKA.

Nah, buat yang bekerja sebagai petani. Kita pekerja mulia versiku. Karena selagi mereka masih masih makan. Maka, mereka pasti butuh kita kan.

Referensi

Wikipedia

                               ((Salam Tani))

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun