Kenaikan kasus infeksi corona sekarang menurut awamologi, hanya data permukaan saja. Bisa saja angka yang sebenarnya jauh besar dari data statistik yang selalu diumumkan. Dari oleh hasil data swab atau rapid test yang dilakukan dinas kedokteran atau data dari satgas covid disetiap daerah.
Pasalnya dilapangan bisa jadi yang terinfeksi jauh lebih besar. Karena tidak terpantau atau karena masyarakat takut cek up kerumah sakit takut dianggap corona, atau masyarakat beranggapan ini hanya demam biasa.
Sehingga data infeksi virus sebenarnya bisa dianggap dua kali lipat dari data statistik yang diumumkan.
Kasus ini sangat cocok dalam konsep psikologi teori gunung es, yang muncul dipermukaan hanya ujungnya, sebagian kecil saja. Sebenarnya dibawah permukaan jauh lebih besar dari apa yang ada diatas permukaan.
Kembali pada konteks dampak. Corona jelas berdampak besar disetiap lini kehidupan menjadi terganggu. Bahayanya, jika corona tak kunjung usai dalam rentang waktu cepat. Bisa dibayangkan? Resesi dunia dalam skala global disertai gejolak sosial, politik dan ekonomi.
Dan nasib suatu bangsa, khususnya generasi selanjutnya. Dampak pendidikan online menjadikan generasi seperti apa, dari berlarut-larutnya pandemi corona, entahlah!
Rutinitas Petani Alternatif Mencegah dari Penyebaran Corona
Dalam hal ini Petani mesti bersyukur loh. Karena rutinitas yang dilakukan. Aktivitas sehari-hari, pergi ke sawah atau keladang. Pergi pagi pulang ketika senja. Dan istirahat pada malam hari. Melepas penat disiang hari.
Segarnya udara alam. Berkumpul dengan suasana alam perkebunan. Rerumputan, pepohonan dan asrinya tanaman. Jauh dari kerumunan manusia, menyepi dengan kegiatan bertani, dunia tanam menanam.
Hal ini cocok dengan himbauan pemerintah untuk selalu menjaga jarak, menghindari kerumunan/keramaian, interaksi sosial dan pembatasan sosial. Petani adalah alternatif untuk menghindari penyebaran virus, kan.
Selain dari dampak corona yang luas, yang membunuh berbagai sektor ekonomi pariwisata, jasa dan lainnya sebagainya.