Corona jilid Dua dan Teori Gunung Es
Penyebaran virus corona yang semakin menggila pada tahun 2021, dengan bermacam varian jenis baru. Mulai dari infeksi virus disertai gejala sampai dengan infeksi virus tanpa ada gejala.
Dahsyatnya varian baru, dengan penyebaran tidak terdeteksi dikalangan masyarakat. Sehingga korban pun bertumbangan dari hari kehari semakin bertambah banyak.
Jika selama ini hanya terpusat pada daerah perkotaan, kini menyebar hingga kepelosok pedesaan pun tak luput dari ancaman si corona.
Sehingga naiknya kasus infeksi corona, disetiap daerah salah satunya mulai banyak terjadi pada kalangan masyarakat pedesaan, termasuk diwilayah kecamatan penulis.
Dari sepuluh desa yang ada dikecematan, hanya ada tiga desa yang belum terkontaminasi virus. Dan tujuh desa lainnya telah ada yang terinfeksi. Tumbang satu persatu hingga meninggal nyawa.
Hal ini menjadi ancaman serius yang perlu dicemaskan. Dalam artian selama ini, masih banyak masyarakat yang apriori pada virus corona. Yang mengangap sepele pada virus dengan tidak tidak menjalani himbauan pemerintah.
Sehingga besar dimungkinkan kenaikan angka kasus tahun 2021 merupakan dampak dari anggapan masyarakat yang keliru menilai kebijakan pemerintah, dari pentingnya mematuhi protokol kesehatan (prokes) pada tahun 2020.
Dilematisnya, pemerintah dituntut serius untuk menangani virus dengan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan virus. Masyarakat pun dihadapkan dua pilihan, corona atau dapur. Masyarakat sebenarnya sangat takut akan corona. Namun kebutuhan hidup juga perlu dipikirkan.
Naiknya angka positiv tahun 2021 dari tahun sebelumnya. Maka isu corona bukan hal dianggap remeh. Pasalnya, penyebaran corona mulai mendekati, lingkungan, keluarga, bahkan kita sendiri tidak disadari telah terinfeksi virus ini.
Dengan gejala mual, sesak napas, kepala pusing, batuk disertai pilek dan demam sudah marak terjadi. Mungkin saja virus mulai mengerogoti imun kita. Baik disertai dengan gejala atau tidak mesti diwaspadai.
Kenaikan kasus infeksi corona sekarang menurut awamologi, hanya data permukaan saja. Bisa saja angka yang sebenarnya jauh besar dari data statistik yang selalu diumumkan. Dari oleh hasil data swab atau rapid test yang dilakukan dinas kedokteran atau data dari satgas covid disetiap daerah.
Pasalnya dilapangan bisa jadi yang terinfeksi jauh lebih besar. Karena tidak terpantau atau karena masyarakat takut cek up kerumah sakit takut dianggap corona, atau masyarakat beranggapan ini hanya demam biasa.
Sehingga data infeksi virus sebenarnya bisa dianggap dua kali lipat dari data statistik yang diumumkan.
Kasus ini sangat cocok dalam konsep psikologi teori gunung es, yang muncul dipermukaan hanya ujungnya, sebagian kecil saja. Sebenarnya dibawah permukaan jauh lebih besar dari apa yang ada diatas permukaan.
Kembali pada konteks dampak. Corona jelas berdampak besar disetiap lini kehidupan menjadi terganggu. Bahayanya, jika corona tak kunjung usai dalam rentang waktu cepat. Bisa dibayangkan? Resesi dunia dalam skala global disertai gejolak sosial, politik dan ekonomi.
Dan nasib suatu bangsa, khususnya generasi selanjutnya. Dampak pendidikan online menjadikan generasi seperti apa, dari berlarut-larutnya pandemi corona, entahlah!
Rutinitas Petani Alternatif Mencegah dari Penyebaran Corona
Dalam hal ini Petani mesti bersyukur loh. Karena rutinitas yang dilakukan. Aktivitas sehari-hari, pergi ke sawah atau keladang. Pergi pagi pulang ketika senja. Dan istirahat pada malam hari. Melepas penat disiang hari.
Segarnya udara alam. Berkumpul dengan suasana alam perkebunan. Rerumputan, pepohonan dan asrinya tanaman. Jauh dari kerumunan manusia, menyepi dengan kegiatan bertani, dunia tanam menanam.
Hal ini cocok dengan himbauan pemerintah untuk selalu menjaga jarak, menghindari kerumunan/keramaian, interaksi sosial dan pembatasan sosial. Petani adalah alternatif untuk menghindari penyebaran virus, kan.
Selain dari dampak corona yang luas, yang membunuh berbagai sektor ekonomi pariwisata, jasa dan lainnya sebagainya.
Namun tidak dengan Petani, petani harus mampu bertahan dari dampak coron. Maka petani harus bersyukur dan selalu tetap bekerja seperti biasanya, untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia. Agar tetap bertahan dari corona sebenarnya, kelaparan.
Karena selagi manusia masih hidup dan butuh makan, maka petani selalu dibutuhkan untuk itu, bukan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H