Jangan kita tertawakan orang yang jatuh . Tapi marilah bersyukur sebab kita tidak jatuh. Memang sulit jalan yang kita tempuh. Lebih sulit dari yang dapat dikira-kira. Marah adalah kebiasaan orang bersama, tetapi belas kasihan adalah kebiasaan orang yang utama---HAMKA
Novelet "Menunggu Beduk Berbunyi" Karya Buya Hamka
Berlatar belakang masa perjuangan atas penjajahan demi mecapai kemerdekaan. Buya Hamka menyajikan karyanya dengan apik yang menceritakan jalan cerita seakan-akan kembali pada era perjuangan disertai dinamika masa awal kemerdekaan.
Novel yang diterbitkan oleh Gema Insani pada tahun 2017. Yang saya beli pada tahun 2018 di Yogyakarta ketika ikut serta menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah silam. Kesempatan yang saya gunakan disela waktu, di kampus UMY tempat penyelenggaraan Muktamar.
Sebagai anggota angkatan Pemuda Muhammadiyah dari Kabupaten Rejang Lebong. Bersama dengan teman-teman yang saya anggap sebagai abang senior dalam organisasi. Berjumlah sembilan orang yang berangkat pada waktu itu.
Menunggu beduk berbunyi merupakan kumpulan novel pendek (novelet) Buya Hamka. Memiliki cerita yang sarat akan makna yang kaya dengan pesan moral yang dapat dipetik.
Salah satunya yang dapat diambil hikmahnya, yakni kita belajar bahwa tidak selamanya kekayaan materi adalah tolak ukur sebuah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan adalah jiwa manusia yang damai, tentram dan kenyamanan batin.
Tapi yang membuat manusia itu bahagia adalah ketika manusia kaya dengan cinta, kasih sayang, dan persaudaraan yang ada pada jiwa yakni batin manusia itu sendiri.
Karya fenomenal Buya Hamka ini kita dapat mengambil hikmah pada kehidupan kita sehari-hari demi mencapai hakikat kebahagiaan sejati manusia yang sesungguhnya.
Sekilas Cerita "Menunggu Beduk Berbunyi"
Dikisahkan tentang sosok orang yang bernama Tuan Sharif yang bekerja sebagi aparatur pada penjajah Hindia Belanda. Yang mana bangsa kita masih berjuang keras mempertahankan kemerdekaan. Dari intimidasi panjajah.
Sebelumnya Tuan Sharif juga pernah berjuang bersama pejuang lain. Namun karena tak tahan dengan hidup susah penuh rasa ketidakpastian dan harapan. Ia pun bersama istri dan anak merantau ke deli/siantar dan bekerja pada penjajah sebagai pegawai hindia belanda.
Akhirnya terjadilah pergolakan batin Tuan Sharif berada pada titik kebimbangan atas yang dialaminya. Antara keberpihakan padabangsa sendiri dengan memutus berhenti bekerja. Atau tetap bekerja dengan penjajah karena himpitan ekonomi dan keinginan kehidupan yang baik secara ekonomi yang dianggap sebagai penghianat bangsa.
Sharif sudah terperosok ke lubang yang begitu dalam. Dia sudah pasrah dengan keterpurukan dan tekanan yang menimpa.Â
Ia harus rela menjadi Federalist, orang yang sangat dibenci para pejuang kemerdekaan.
Dibenci oleh masyarakatnya bahkan anak sendiri bernama Arsil putra sulung yang sangat ia sayangi pun ikut membenci dirinya.
Tersirat jelas dalam nukilan bait pada kata dari surat anaknya, Arsil. Pertentangan sang Anak dengan Ayah. Surat yang berisi kebencian kepada Ayah sang Federalist.
Tapi Ayah! Sesudah melihat Ayah dengan gembira berada dalam konvoi musuh dan mobil itu lewat dihadapan kami, ganjil perasaan yang datang kepada diri ananda. Tidak terlihat olehku wajah teman-temanku. Mereka menatap tajam kepadaku meskipun mereka tidak berkata. Dalam pandangan itu panjang taksirnya bagiku. Aku anak dari seorang pengkhianat cita-cita, seorang musuh Republik.
Sebanyak itu pengorbanan yang telah kita tumpahkan, baik bangsa kita seluruhnya maupun kita sendiri serumah tangga, demi pada ujian yang penghabisan Ayah kalah. Ayah tidak berhitung.
Mengapa Ayah ragu bahwa kita akan menang. Bagaimanakah perasaan Ayah terhadap anak Ayah yang dihutan-hutan dan di gunung-gunung untuk cita yang mulia, yaitu kemerdekaan dan kemulian bangsa?
Ayah lemah hati karena tidak tahan menderita, makanan yang enak-enak telah menggelapkan mata Ayah. Gaji besar, kemewahan dan kesenangan-kesenangan. Padahal kemerdekaan hilang lantaran itu. Berapa lamanya dunia ini akan kita dipakai. Sehingga manalah kepuasaan hawa nafsu.
Inilah beberapa pesan surat Arsil pada Ayahnya. Penuh rasa perbedaan pandangan atas apa yang Ayahnya lakoni, sebagai penghianat bangsa sendiri. Yang bersenang-senang disaat bangsa sedang dirudung rasa ingin bebas dari belenggu musuh. Yang selama ditentang oleh bangsanya sendiri.
Diakhir surat Arsil berharap pada Ayahnya.
Harapan ananda kepada Ayah cuma satu yaitu hati-hatilah Ayah dalam menjaga diri karena disaat genting seperti sekarang, ada juga tenaga-tenaga liar yang tidak bertanggung jawab dan tidak terikat oleh disiplin, yang memandang jiwa manusia lebih murah dari jiwa ayam.
Anak Ayah,
Arsil
Khutbah Jum'at menyadarkan Tuan Sharif
Khatib berkhutbah,
"Puasa akan datang, terimalah bulan yang mulia ini dengan penuh iman. Dari waktu sahur, kita tahan menderita lapar dan haus, lelah dan payah. Maka tahanlah lapar dan haus, lelah dan dahaga itu. Sabarlah menunggu beduk berbunyi. Beduk pasti berbunyi apabila waktunya telah tiba. Tidak ada satu makhluk pun yang dapat menahan terbenam matahari.
Setelah terbenam matahari di ufuk barat, beduk pun pasti berbunyi. Ada orang yang tidak tahan menunggu beduk berbunyi, katanya terlalunlapar. Hari sudah pukul enam kurang sepuluh, tanda matahari akan tenggelam telah tampak, cahaya merah telah ada di barat.
Lantaran tidak tahan, dibatalkan saja puasanya. Diminumnya seteguk air untuk menghilangkan dahaga. Lepaslah puasanya dan batallah amalannya, percuma haus-laparnya dan bangun bersiap hendak makan sahur sejak pertengahan malam. Bagaimanakah perasaan orang itu setelah orang lain berbuka puasa di waktu yang tepat dengan gembiranya. Walaupun dia turut makan pula?"
Itulah rangkaian kalimat khatib menerangkan hikmah puasa. Kalimat yang sangat menyentuh hati Tuan Sharif secara tak langsung. Ia merasa dirinya bersalah yang merasa bahwa dirinya orang yang tidak sabar menunggu beduk berbunyi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H