Usaha mensosialisikan istilah good governance dan clean governance yang gencar dilakukan oleh pemerintah. Apakah dengan bentuk perubahan aturan-kah, sistem-kah dan sebagainya, nampaknya belum mampu menekan lajunya berbagai praktik-praktik liar didalam sistem birokrasi ditanah air.
Berbagai pungutan liar (pungli), budaya suap agar lancar setiap urusan, hingga dengan tindakan korupsi yang dilakukan secara berjamaah kerap terjadi. Dan melibatkan berbagai unit kerja yang terhubung dan terkait untuk melakukannya.
Istilah good governace atau clean governace  kalau disederhanakan dengan pemahaman  "reformasi birokrasi", modifikasi sistem, aturan, cara kerja. Sebenarnya mesti menjadi catatan penting yang harus digarisbawahi adalah para pelaksana system itu sendiri. Yang benar-benar efektif dan efisien.
Sistem pun tidak terlepas dari sebuah kealapaan lebih-lebih lagi pelaksana sistem, yaitu sejauh mana idealisme (mental) yang mereka pegang, sebagai pembuktian dalam bekerja. Dari sisi etos kerja-kah, cara kerja-kah, dan kinerja yang terkadang sangat rentan mempengaruhi tujuan dengan sebuah hasil yang dicita-citakan.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indicator yang ada antara lain. Korupsi masih dijumpai dimana-mana. Begitu juga kondisi perekonomian bangsa yang masih "berjalan ditempat" dari bangsa lain. Kalau demikian kiranya dimana-kah letak kekurangan/kesalahan dari semua itu? Sistem-kah atau barangkali personnya.
Hangatnya pemberitaan media massa, tentang permasalahan lem aibon, pulpen dalam rincian anggara DKI Jakarta dan juga pemberitaan korupsi Anggaran Dana Desa (ADD) dengan banyaknya data fiktif desa dalam mengelolah anggaran tersebut, menjadi tanya besar dalam konteks tranfaransi dan penggunaan anggaran saat ini.
Dalam hal tentunya banyak indicator yang mempengaruhi permasalahan anggaran yang rentan terjadinya penyelewengan, salah satunya indicator adalah sikap mental bangsa kita yang mestinya harus dirubah, dan terlalu jauh menyimpang kearah sikap pragmatis ataupun oportunis.Â
Istilah Ada uang baru jalan sebuah dan cari seseran di unit kerja istilah yang terkadang kerap terdengar pada gendang telinga. Dan istilah "transparansi" yang sering dihubungkan dengan prihal anggaran, belanja dan biaya-biaya kegiatan, seperti bentuk permainan angaran yang saling menguntungkan.
Permasalahan anggaran mempunyai korelasi dengan "drafting" yang direncanakan dalam bentuk program kerja. Setiap instansi, departemen dan sebagainya, dalam setiap kegiatan yang dicanangkan, berawal dari sebuah kata "rapat kerja" yang dikenal raker.
Pasalnya, dalam rapat kerja yang dilakukan terkadang ditemukan banyaknya kegiatan fiktif yang sengaja dicanagkan oleh segelintir orang. Untuk mendapatkan keuntungan di balik sebuah agenda kerja.
Sebenarnya fenomena-fenomena seperti ini merupakan kejadian yang sering terulang. Dan lazim dilakukan. Misalnya, berbagi proyek-proyek anggaran sebagai pendapatan yang istimewa selain gaji utama.
Istilah "seseran" bahkan lebih menguntungkan  ketika oknum yang mempunyai kepentingan untuk memperkaya diri pribadi. Atau lebih dahsyat "memonopoli" setiap agenda kerja bak berbagi roti untuk disantap secara bersama-sama.
Permainan ini, sering disaksikan bahkan diberitakan di media, jelas terbukti bermasalah dengan hukum. Yang menarik banyak pihak, unit kerja, antar lembaga. Seperti persengkolan para oknum untuk menggerogoti uang negara.
Lebih lucu lagi, apabila pihak yang berwenang tidak tahu akan kejanggalan dalam draf anggaran. Berapa nominalnya, apa rinciannya, dan untuk apa?
Korelasi Nilai Kejujuran dengan Prihal Transfaransi
Menurut kamus Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan jujur adalah lurus hati, tidak curang atau ikhlas. Â Melihat penomena-penomena kejanggalan anggaran di DKI misalnya, membuat ruang media maya hangat menanggapi kejadian yang dianggap tidak masuk akal oleh publik.
Dan istilah "transparansi" yang sering dihubungkan dengan prihal anggaran, belanja dan biaya-biaya kegiatan, seperti bentuk permainan angaran yang saling menguntungkan.
Kejelasan " jangan main kucing-kucingan" apalagi berhubungan dengan uang rakyat, publik, masyarakat. Di asumsikan sebagai sebab musabab "krisi moneter" yang tidak berkesudahan dan kemiskinan bangsa kita.
Dalam konteks ini nilai kejujuran adalah sebuah kelanggkaan, tranfarasi besar kemungkinan tidak akan dilaksanakan. Berbagai ketakutan akan terjadi dan akan terbukanya ruang-ruang untuk korupsi. Epidemik menakutkan, Jika kejujuran telah hilang pada jiwa birokrat dan aparatur kita. Korupsi pun akan merajalela dan cenderung dilakukan berjamaah.
Salam