Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Tanpa Penyeimbang, Siapakah Oposisi yang Sesungguhnya?

25 Oktober 2019   08:22 Diperbarui: 25 Oktober 2019   08:46 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ilmudefinisi.com

Sebelum pengumuman kursi di cabinet, ada beberapa opini yang terbangun di kacamata para analis. Yang beranggapan bahwa demokrasi tanah air dalam kadar yang tidak sehat. Yaitu prihal oposisi yang tidak seimbang di parlemen.

Persentase antara pro pemerintah dengan kontra pemerintah, baris koalisi pemenang versus barisan rival, sebagai kekuatan penyeimbang dalam menjalankan demokrasi yang diharapkan tidak seimbang.

Idealnya, persentase dalam parlemen antara 45-55 atau 60-40 bisa dianggap baik, hal yang senada dengan pernyataan salah satu tokoh teras dari partai PKS, Mardani Ali Sera. 

Yang mengupamakan suara di parlemen yang ideal adalah 300 versus 250 atau 230, ini masih dianggap sehat. Jika perbandingan dibawah anggka tersebut jelas melahirkan, kecacatan demokrasi kita.

Logisnya peran oposisi persis sama dengan pola voting dalam menentukan kandidat ketua di berbagai organisasi yang ada. Siapa yang terbanyak, dialah yang sah terpilih. 

Begitupun prihal kebijakan/program, ketika berdasarkan jumlah vote yang terbanyak dijadikan parameter menentukan kebijakan secara tidak langsung memberikan esensi tanda tanya besar, jika kebijakan secara subtansial memiliki konotasi yang bertentangan dari aspirasi public.

Siapakah yang berfungsi jika adegan-adegan seperti ini terbentuk, mungkin akan terjadinya  perkawinan kepentingan yang melahirkan demokrasi yang bersifat tirani, dan Lost Control lembaga legislative, membuat demokrasi yang dicita-citakan hanya dalam tataran demokrasi kelabu.

Semangat Reformasi pun mestinya dipertanyakan, jika masih mengulang sejarah lama yaitu di masa orde baru. Dimana animo pembaharuan dalam meletakan pondasi demokrasi yang baru dibangun, harus mengulang kembali masa ke otoriteran pemerintah. Yang bersifat absolute tanpa bisa diganggu gugat.

Sejatinya, menjadi oposisi adalah untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat perundang-undangan dan kepentingan bangsa. 

Konsekuensi dari pergumulan kepentingan dari lembaga-lembaga penting/utama Negara, dalam pandangan demokrasi sehat harus terhindar dari praktik-praktik persengkongkolan tingkat tinggi dari para politisi tanah air.

SIAPAKAH OPOSISI ITU?

Menyimak paparan Fahri Hamzah yang sering disingkat FH, dalam sebuah tayangan acara ILC. Ada beberapa point penting yang disamapaikan, yang bisa dijadikan rujukan dalam mengartikan arti kata oposisi dalam kerangka demokrasi.

Bahwa, oposisi bukan dalam artian yang selalu tertuju suara parpol di parlemen, suara pengusung/koalisi. Tapi kepada integritas para individu-individu yang berada dibangku kewenangan. 

Artinya, kembali sikap dan tindakan para wakil rakyat, terlepas perahunya apa, benderanya apa, harus dikesampingkan bila kebijakan pemerintah tidak sejalan dengan konstitusi yang ada.

Hal ini, menurutku pernyataan Fahri Hamzah sangat menarik untuk dihubungkan dengan dinamika pemerintahan jilid II priode 2019-2024. Bila semua diam, tanpa adanya sebuah perbantahan yang konstruktif, siapa lagi pihak yang kompeten yang akan menyuarakan suara rakyat di Negara kita.

Menjadi oposisi jalanan seakan tak layak untuk dikumandangkan, jika hanya dalam garis penonton yang bersorak-sorai diluar arena. Kemungkinan yang sangat kecil untuk didengar atau diperhatikan. 

Bahkan bisa menjadi sasaran/target untuk diciduk, bila getol berbicara diatas mimbar jalanan. Kebebasan menyampaikan aspirasi seakan dalam kecemasan.

Jika formula oposisi pasca bergabungnya gerindra dalam cabinet, persentase kekuatan seakan terbagi. Semakin merucutnya barisan/pihak yang kental akan berlawanan dengan pemerintah. Hanya ada 3 Parpol yang tidak tergabung di dalam cabinet, Demokrat, PKS, dan PAN.

Timbul sebuah pertanyaan, mampukah mereka memainkan fungsi di parlemen? Jika sistem voting masih berjalan. Suara terbanyak masih dijadikan acuan dalam mengesahkan kebijakan, termasuk rancangan perundang-undangan nantinya.

Sebuah harapan dan diharapkan, oposisi bukan hanya dalam tataran perahu yang kita tumpangi, atau bendera yang mengantarkan ke senayan. Tapi, prinsip diri pada individu yang berani menyatakan benar itu benar, salah itu salah.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun