Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kemuliaan Politik Tercoreng karena Ini!

30 September 2019   07:44 Diperbarui: 30 September 2019   07:58 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini Indonesia membutuhkan orang-orang yang benar, tidak sekedar pandai untuk mengelola Bangsa dan Negara. Jika hanya sekedar pandai, saat ini Negara kita sudah banyak yang pandai. Namun yang dibutuhkan adalah orang yang pandai dan benar itulah jumlahnya yang tidak banyak. (Anymous)

Dengan berakhir masa kerja DPR, DPD maupun DPRD tingkat daerah  periode 2014-2019 pada akhir bulan, memunculkan berbagai pertanyaan dan pernyataan seputar kinerja yang dilakukan di kursi basah selama lima tahun. Seberapa besar energy yang tercurah dan  disumbangkan oleh mereka untuk bangsa kita.

Secara subjektif, apakah yang dikerjakan benar-bernar berpihak pada keinginan public. Atau justru lebih berpihak pada perahu yang mereka gunakan. 

Dua hal yang terkadang mempengaruhi orientasi para wakil dalam melaksanakan amanah yang diemban. Antara kepentingan dan keberpihakan, beban moral dan idealisme, kekuasaan dan kehormatan, jalan lurus atau menyimpang.

Jika mengulas tugas dari para dewan yang diamanahkan oleh undang-undang. Pertama menetapkan RAPBN bersama presiden. Kedua, menetapkan RUU. Ketiga mengawasi jalannya pemerintahan. Sinergitas kedudukan  yang setara/sejajar dengan pemerintah. 

Korelasi yang urgen dalam membawa bangsa ini menuju kejayaan bersama pemerintah. Dalam artian berkerjasama untuk mewujudkan pembangunan yang dicanangkan.

Tapi ironisnya, seakan hasil kerja yang mereka lakukan tidak dirasakan oleh publik, selain sensasi politik yang saling gontok-gontokan dan  melontarkan permasalahan-permasalahan yang tidak pernah untuk dibenahi. 

Ide-ide visioner hanya jadi perbincangan leluconan dan drama yang bersifat politis menghiasi panggung kekuasaan tuk saling jatuh menjatuhkan.

Belum lagi dari hak yang dimiliki sebagai penyempuna simbol "power" bukan ecek-ecekan dalam bahasa kampungku. Hak angket, hak interplasi, hak imunitas, hak mengajukan pendapat, hak mengajukan RUU, dan hak budget. 

Perangkat control penyeimbang kekuatan pemerintah tanpa adanya intimidasi dari sang penguasa. Taring tajam yang membunuh, namun terkadang dipaksakan untuk tumpul, tidak digunakam semestinya dan mulai rapuh karena uzur yang tidak lazim.

Untuk dapat membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia memang tidak segampang dibayangkan. 

Pasalnya, proses untuk menghasilkan pemimpin dan anggota dewan wakil pengemban aspirasi rakyat ini belu,m mampu menjamin lahirnya sosok yang di idam-idamkan  yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa.

Disisi lain,  keluhan dan jeritan public cenderung seperti angin lalu yang tidak disuarakan ketika berada pada posisi "decision maker" pemangku kewenangan.

Potret ini semestinya menjadi contoh/pelajaran untuk para wakil yang baru terpilih usai pemilu kemarin. Meskipun ada beberapa dari mereka masih ada sang "pertahanan" masih eksis bertahan dipanggung kehormatan itu.

sumber: mediaindonesia.com
sumber: mediaindonesia.com

Politik Puncak Kehormatan atau Panggilan Nurani

Kedudukan politik untuk berada pada puncak hirarki teratas bak perjuangan kelas "kehebatan" pada posisi yang paling bergengsi. Asumsi yang terlihat berdasarkan fakta-fakta yang dimunculkan seperti propaganda jenjang karir yang membelokkan orientasi segelintir orang tuk memburu kelas ekslusif ditanah air.

Pengusaha/konglomerat papan atas juga seakan tidak rugi menggelontorkan finasial yang besar untuk berinvestasi dalam hal ini. Baik langsung tuk mencalonkan diri maju pada barisan, atau menjadi pendiri/penyedia perahu yang menarik bagi penumpang tuk berlabuh bersama, atau menjadi donatur amunisi ketika jagoan akan bertarung di medan perpolitikan.

Artis/musisi/selebriti/ dan sebagainya seaperti banting stir/ganti profesi, dari profesi yang digeluti selama ini beralih ke bursa poltik, padahal profesi sebelumnya telah cukup baik menorehkan nama mereka di mata public. Toh, malah ikut serta meramaikan bursa kontestan politik nasional.

Atau bisa jadi karena papularitas mereka, membuat sang pemilik perahu tertarik untuk meminang untuk dijadikan kader demi suara di parlemen supaya tidak diskualifikasi untuk periode berikutnya, alias tidak cukup suara untuk ikut lagi.

Bila mendengar berbagai paparan kemulian yang disampaikan mereka, ketika merajut ke dunia politik karena panggilan "nurani" tidak menjadi suatu problem dan hak setiap warga Negara telah dijamin didalam undang-undang.

Yang diharapkan adalah hasil kerja, bukan hanya nilai pratise yang semu "pencitraan".. Karena membangun Negara tidak hanya pada satu posisi tertentu saja,. Tapi, posisi manapun punyat kontribusi dalam pembangunan. Yang jelas manfaat dan tidak merugikan public.

sumber: asumsi.com
sumber: asumsi.com

Kemulian Politik

Kini kata-kata politik seperti "momok" yang memuakan. Walau pada hakikatnya politik itu mulia, politik adalah penataan masyarakat Negara untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 

Tentu, politik tidak bisa disalahkan dalam aspek yang sempit karena dilahirkan dari dinamika yang centang prenang. Namun yang seharusnya disalahkan bukan politiknya, justru tangan-tangan yang tidak bisa memuliakan politik.

Kini, politik seakan kehilangan kemuliaannya karena cara berpolitik dan si pelaku politik yang tidak mampu menjamin kemulian gerakan politik itu sendiri. 

Cara-cara pragmatis transaksional akan merendahkan makna poltik dan mengurangi kepercayaan public terhadap para politisi yang ada.

Merujuk pasca reformasi yang melahirkan aneka parpol yang sangat banyak di tanah air berkesan sutau tanda tanya besar kok untuk apa? bila dibadingakan di era orde baru yang hanya tiga partai. 

Bahkan Negara-negara besar yang maju seperti Amerika masih dengan dua partai? kok kita beda ya? hebat-kan?. Apakah ini yang bisa disebut demokrasi kita semakin baik, atau justru hanya untuk memburuh kursi kekuasaan?

Anasir, akan banyak partai-partai baru yang bermunculan seperti tersirat roman kekuasaan, atau kemulian untuk bercokol diparlemen yang memiki cengkraman sangat besar, mengendali semua akan keinginan. Dengan kekuasaan dalam perundangan, anggaran dan pengawasan. Seperti Negara dalam garis satu komando.

Bahkan belakangan ini eksekutif pun diisi oleh orang-orang yang diajukan partai politik, dominasi dari partai pengusung yang tergabung dalam koalisi.  Akibatnya, pejabat Negara kita hanya diisi para elit parpol yang berkuasa. 

Eksekutif maupun legislative dalam kesatuan yang rentan dengan transaksi politis semata di setiap kebijakan. Kamplingan eksekutif seperti "terjarah" dari hulu ke hilir, dari pusat hingga ketingkat daerah.

Sistem pemerintahan yang presidensil tak ubah seperti sistemnya parlementer. Karena komposisisi-komposisi cabinet dipemerintahan terkampling-kampiling oleh titipan parpol. Fungsi koalisi yang didengungkan hanya tataran berbagi pos-pos strategis menghilangkan marwah partisipasi parpol di tanah air. 

Ujaran untuk ikut membangun hanya melihat "cela" merapat pada pemenang seakan memberikan kesan sempit dalam konteks partisipasi. Dan merasa enggan berada diposisi oposan.  

Eksistensi-kah atau karena cari aman, atau trik dua kaki supaya eksis di priode-priode berikutnya. Inilah asumsi yang dipahami dari kacamataku.

Ironis, jika berbicara politik, tidak hanya terjadi ditingkat skala yang besar tapi, terjadi di unit terbawah, khususnya infiltrasi politik bersemayam di dalam instansi-instansi pemerintahan yang seharusnya indepeden. Dan  menjadi komoditi niaga dipolitisir. Mau posisi ini-itu bayar, mau lancar prosesnya bayar, mau cair tip pun harus bayar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun