Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Hoaks dan Sengkuni adalah Petaka Kita

8 Juli 2019   08:08 Diperbarui: 8 Juli 2019   08:20 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu 2019 adalah wajah baru dalam perjalanan Demokrasi di tanah air. Yaitu pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres. Perang gagasan sampai dengan perang urat syaraf dilakukan. Bahkan gontok-gontokan di tingkat akar rumput pun terjadi.

Beda pilihan seakan memberikan batasan antara dua kelompok yang pro dan kontra. Saling benar dan saling menyalahkan satu sama lain. Dimanapun, topic perbincangan selalu dibumbuhi tentang seputar Politik Nasional. Di kedai kopi, tempat hajatan, perkantoran, pos ronda bahkan melayat korban musibah pun masih jadi bahan perbincangan.

Menariknya pembicaraan seputar "Pileg" kurang menarik dibandingkan dengan "Pilpres. Pilpres 2019 seakan memberikan magnet positif dan negativ.  Membawa semua orang seakan ikut berperan serta mensukseskan sang calon idaman. 

Seperti "salesmarketing" menawarkan barang  jualan kepada calon konsumen. Tanpa melihat sisi pangsa pasar "trend" seperti apa yang berkembang saat ini. Dan bara seperti apa yang didambakan konsumen.

Prihal ini persis sama pada ajang pencarian "Vote" di acara kontes  perlombaan. Dalam artian pendukung berlomba-lomba mengenalkan sang calon ke muka publik. Untuk diajak masuk kedalam "frame" pendukung kita. Mirisnya, justru anak kecil yang masih ingusan menjadi imbas Pilpres di tahun ini. Terlalu dini mendapatkan pembelajaran politik.

Seperti sangat memahami riwayat sang calon yang layak dan pantas untuk mereka pilih nanti menjadi Presiden. Jika diberikan kesempatan menggunakan hak suara, mereka sudah punya pilihan sendiri. Hidup si A, Hidup si B! Dalam teriakan mereka, anak-anak dilingkungan rumahku.

Sisi positifnya pemilu 2019, tanpa relawan atau parpol pun  pendukung dari sang calon. Di akar rumput telah terbentuk dengan sendirinya, badan kampanye mandiri. 

Dari orang-orang yang sangat mendukung calon pilihan meraka. Keterikatan tali emosional memicu untuk bertindak. Membentuk dua berbeda kelompok "kecebong" atau "kampret".

Muncul fanatik yang berlebihan ini. Berujung pergesekan dan permasalahan. Teman tidak tegur sapa, suami istri pecah suara, hubungan atasan dengan bawahan jadi bermasam wajah. 

Hingga dijadikan ajang perjudian oleh segelintir orang, dengan jaminan  harta yang mereka miliki. Tendensi pilpres tahun ini seakan memberikan wajah baru di masyarakat, perbincangan hangat untuk digarisbawahi.

Sisi ini tidak bisa dipungkiri dan banyak terjadi. Walau kemarin Presiden yang terpilih telah diumumkan oleh MK maupun KPU. Benih-benih kebencian seperti sukar untuk dihilangkan. Membekas berubah menjadi kebencian. Tidak bisa menerima keputusan tersebut.  Menolak legitimasi tersebut.

Kekesalan, kemarahan disertai lontaran ujar yang tidak layak. Penuh dengan kebencian. Masih terdengar bahkan masih terbaca di berbagai media. Khususnya media social saat ini. "anggap saja aku tidak memiliki presiden saat ini, karena mereka curang" suatu terlintas di mata. Ketika membuka halaman salah satu media. Kemarin.

Tensi ini dilatar belakangi dengan berbagai indicator "pemantik" pergolakan di masyarakat. Dalam hal ini. Ada dua indicator terpenting pemicu terjadinya skat yang terjadi. Yang memiliki sumbangsih besar dari panasnya dinamika politik ditahun ini. Pencetus perbedaan yang mencolok dan mencemaskan.

Bahaya Hoaks

Menurut Profesor Reynald Kasali yang saya kutip dalam acara ILC di TVone "Hoaks bukan hanya membodohi masyarakat awan tapi terkadang membodohi orang-orang cerdas".  Apalagi masyarakat awam.

Ketika informasi yang beredar dengan narasi seputar kemiskinan, pendidikan, unsur keyakinan dikemas apik sedemikian rupa. Tanpa bukti dan tidak bertanggung jawab.  Maka, akan ada terbentuk suatu opini cenderung  menimbulkan plesetan akan kebenaran. "maindsage" pembodohan massal.

Dan cenderung menimbulkan fanatis identitas, dalam hal ini kebablasan akan figure yang  di idolakan. Buruknya, pemikiran ini telah tertanam pada s

Hoaks dan Sengkuni adalah Petaka Kita

Pemilu 2019 adalah wajah baru dalam perjalanan Demokrasi di tanah air. Yaitu pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres. Perang gagasan sampai dengan perang urat syaraf dilakukan. Bahkan gontok-gontokan di tingkat akar rumput pun terjadi.

Beda pilihan seakan memberikan batasan antara dua kelompok yang pro dan kontra. Saling benar dan saling menyalahkan satu sama lain. Dimanapun, topic perbincangan selalu dibumbuhi tentang seputar Politik Nasional. Di kedai kopi, tempat hajatan, perkantoran, pos ronda bahkan melayat korban musibah pun masih jadi bahan perbincangan.

Menariknya pembicaraan seputar "Pileg" kurang menarik dibandingkan dengan "Pilpres. Pilpres 2019 seakan memberikan magnet positif dan negativ.  Membawa semua orang seakan ikut berperan serta mensukseskan sang calon idaman. 

Seperti "salesmarketing" menawarkan barang  jualan kepada calon konsumen. Tanpa melihat sisi pangsa pasar "trend" seperti apa yang berkembang saat ini. Dan bara seperti apa yang didambakan konsumen.

Prihal ini persis sama pada ajang pencarian "Vote" di acara kontes  perlombaan. Dalam artian pendukung berlomba-lomba mengenalkan sang calon ke muka publik. Untuk diajak masuk kedalam "frame" pendukung kita. Mirisnya, justru anak kecil yang masih ingusan menjadi imbas Pilpres di tahun ini. Terlalu dini mendapatkan pembelajaran politik.

Seperti sangat memahami riwayat sang calon yang layak dan pantas untuk mereka pilih nanti menjadi Presiden. Jika diberikan kesempatan menggunakan hak suara, mereka sudah punya pilihan sendiri. Hidup si A, Hidup si B! Dalam teriakan mereka, anak-anak dilingkungan rumahku.

Sisi positifnya pemilu 2019, tanpa relawan atau parpol pun  pendukung dari sang calon. Di akar rumput telah terbentuk dengan sendirinya, badan kampanye mandiri. 

Dari orang-orang yang sangat mendukung calon pilihan meraka. Keterikatan tali emosional memicu untuk bertindak. Membentuk dua berbeda kelompok "kecebong" atau "kampret".

Muncul fanatik yang berlebihan ini. Berujung pergesekan dan permasalahan. Teman tidak tegur sapa, suami istri pecah suara, hubungan atasan dengan bawahan jadi bermasam wajah. 

Hingga dijadikan ajang perjudian oleh segelintir orang, dengan jaminan  harta yang mereka miliki. Tendensi pilpres tahun ini seakan memberikan wajah baru di masyarakat, perbincangan hangat untuk digarisbawahi.

Sisi ini tidak bisa dipungkiri dan banyak terjadi. Walau kemarin Presiden yang terpilih telah diumumkan oleh MK maupun KPU. Benih-benih kebencian seperti sukar untuk dihilangkan. Membekas berubah menjadi kebencian. Tidak bisa menerima keputusan tersebut.  Menolak legitimasi tersebut.

Kekesalan, kemarahan disertai lontaran ujar yang tidak layak. Penuh dengan kebencian. Masih terdengar bahkan masih terbaca di berbagai media. Khususnya media social saat ini. "anggap saja aku tidak memiliki presiden saat ini, karena mereka curang" suatu terlintas di mata. Ketika membuka halaman salah satu media. Kemarin.

Tensi ini dilatar belakangi dengan berbagai indicator "pemantik" pergolakan di masyarakat. Dalam hal ini. Ada dua indicator terpenting pemicu terjadinya skat yang terjadi. Yang memiliki sumbangsih besar dari panasnya dinamika politik ditahun ini. Pencetus perbedaan yang mencolok dan mencemaskan.

Bahaya Hoaks

Menurut Profesor Reynald Kasali yang saya kutip dalam acara ILC di TVone "Hoaks bukan hanya membodohi masyarakat awan tapi terkadang membodohi orang-orang cerdas".  Apalagi masyarakat awam.

Ketika informasi yang beredar dengan narasi seputar kemiskinan, pendidikan, unsur keyakinan dikemas apik sedemikian rupa. Tanpa bukti dan tidak bertanggung jawab.  Maka, akan ada terbentuk suatu opini cenderung  menimbulkan plesetan akan kebenaran. "maindsage" pembodohan massal.

Dan cenderung menimbulkan fanatis identitas, dalam hal ini kebablasan akan figure yang  di idolakan. Buruknya, pemikiran ini telah tertanam pada seseorang. Alhasil, setiap kebaikan orang lain selalu tidak baik dimatanya dan kesalahan yang dilakukan idola akan selalu dibela bila perlu dibenarkan.

Di support oleh media salah manfaat kata teman saya. Mereka yang terjebak dalam konteks melek teknologi atau latah teknologi. Atau jangan-jangan sudah menjadi korban teknologi itu sendiri.

Media social tidak dapat disalahkan, media social dalam hal ini. Bagaikan pisau bermata dua. Diantara manfaat dan mudharat. Tergantung pada si pengguna. Untuk apa, baikkah atau jahatkah?

Tapi si penyebar hoaks adalah berbahaya. Mestinya menjadi bahan evaluasi untuk selanjutnya, kebebasan berpendapat harus memiliki rambu-rambu etika. Supaya akar rumput tidak menjadi korban kepentingan politik sepihak.

Hoaks dalam tekstual ataupun kontekstual adalah berita bohong yang diembuskan oleh seseorang atau segelintir orang. Memiliki tujuan tertentu.

Para Sengkuni Bermain Peran

Sengkuni suatu aktor antagonis dalam cerita Pandawa dan Kurawa. Pintar, picik bahkan sangat licik. Memiliki kemampuan  seperti belut. Lihai bersilat lidah. Memukau dalam setiap bait kata. Pendeknya sangat ahli bernarasi dalam segala bidang. Benar dapat disalahkan, salah pun bisa menjadi benar.

Jago meniup api kecil menjadi besar, pintar melihat momen. Sing penting tujuan sang Sengkuni tercapai. Drama-drama manapun, apapun mampu dilakoni. Dalam hal ini Sengkuni memiliki bakat yang luar biasa, tapi kelebihannya memberikan manfaat. Justru digunakan untuk ambisi pribadi.

Inilah salah satu potret, karakter yang sering muncul pada peta perpolitikan. Memanaskan suhu pemilu 2019 menjadi seperti  ini. Pintar memancing di air keruh, menggunting di lipatan. Dalam kata pepatah lama "musang berbulu domba".

Ketika permasalahan menjadi hangat akan hilang entah kemana, bahkan jurus seribu rupa di mainkan. Prihal Sengkuni akan selalu ada dan akan selalu hadir di pentas manapun. Di belahan dunia manapun.

Berdasarkan fakta-fakta, hoaks ataupun sengkuni bisa menjadi satu. Hoaks adalah caranya. Sengkuni adalah aktornya. Menunggangi suasana, berkuda dibalik media. Dengan produk yang dihasilkan  "tulisan dan ujaran".

Munginkah, 2024 lebih heboh lagi. Bisa ya bisa juga tidak. Jika tidak dibenah, sejarah lama akan terulang. Bahkan lebih parah.

Curup, 8 Juli 2019

Ibra Alfaroug

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun