Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perceraian dan Sisi Pahit bagi Anak

3 Juli 2019   10:24 Diperbarui: 3 Juli 2019   10:52 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Pixabay.Com

Tingginya angka perceraian yang terjadi saat ini. Memberikan pemahaman penting dalam meluruskan tujuan untuk menikah. Yaitu sebuah makna kata keluarga. 

Menurut Abdul Hakim Ash Shaidi dalam bukunya "Menuju Keluarga Sakinah", Keluarga adalah salah suatu sistem yang satu-satunya dapat menjamin keberlangsungan manusia, keberadaannya menjaga dari guncangan social yang keras, dapat memberikan manfaat pada pembentukan kepribadian, memperkuat ikatan, menjaga polusi masyarakat dan menjaga kerukunan.

Dalam konteks ini keluarga saya gambarkan sebagai sistem olah rasa. Mestinya, harus ada rasa cinta kasih, saling percaya satu sama lain. Antara suami dan Istri, Anak dan Orang Tua. Supaya menjadi bahagia, rukun tidak goyah jika dihantam ombak angin maupun prahara yang melanda. Kuncinya ada di kata "kepercayaan". Yang terdiri dari unsure percaya, mempercaya, dipercaya.

Kepercayaan mengikat kata kejujuran, keterbukaan, sikap saling memahami, dan saling mendukung satu sama lain. Tapi, mendukung kearah yang lebih baik harus digaris bawahi. Karena sayang yang terlalu besar, apapun dilakukan si "doi" selalu dibiarkan tanpa celaan. Mestinya dipertimbangkan jangan sampai salah tujuan. Katakan salah jika itu salah, katakan benar jika itu benar. Inilah wujud sayang dalam pikir awamku. Bukan menjebaknya dengan kata "setuju".

Anggaplah sebuah kecemburuan sebagai ketakutan akan kehilangan, kecurigaan adalah normalitas kepedulian, marah sebagai bentuk sapaan tidak enak tapi obat penyembuh ketika sakit. Inilah kelaziman selalu terjadi dalam berkeluarga. Tidak akan pernah lurus seperti jalan tol. Punya liku-liku tajam siap menghadang. Dalam artian berkeluarga pasti ada konsekuensi yang tidak terduga.

Maraknya kasus perceraian terjadi seakan memberikan sebuah pertanyaan besar. Kok bisa! kemarin mesra-mesra serasa bumi milik berdua, orang lain hanya numpang lewat di taman kasmaran. Tapi, harus terputus ditengah jalan. Kandas diperjalanan. Dalam istilah kampungan "duduk tegak nikah cerai".

Fenomena ini marak terjadi ditanah air. Khususnya berita gosip selebriti kita yang selalu asyik ditayangkan ke public melalui program menarik di TV. Bahkan pemirsa dibuat terpukau dengan narasi berita yang dikupas secara apik. Kemarin si A selingkuh loh, si B poligami, si C menikah dengan kemewahan, obrolan ibu-ibuk kampung saya. Terdengar selintas.

Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mendefenisikan perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri. Dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. 

Perkawinan di Indonesia menganut asas monogami terbuka, artinya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, begitu juga sebaliknya. Kecuali pengadilan memberikan izin kepada pria tersebut, untuk beristeri lebih dari satu, itupun bila dikehendaki oleh pihak-pihak terkait. Serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan, baik menurut syarat alternative maupun kumulatif (UU No. 1 Tahun 1974).

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia yang kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya keluarga-keluarga yang bahagia maka pembangunan di Indonesia akan dapat berjalan dengan lancar dan baik, sebab didalam sebuah  negara keluarga merupakan unit terkecil dari kelompok masyarakat.

Setelah diperhatikan secara cermat hikmat perkawinan seperti yang dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa perkawinan itu bukan saja hanya diperlukan oleh satu pihak saja (laki-laki atau perempuan), namun antara suami isteri yang telah terikat dalam suatu pernikahan akan saling melengkapi antar satu dengan lainnya. 

Dengan perkawinan itu haruslah tercipta ketengan jiwa dan terhindar dari perbuatan yang maksiat, melanjutkan keturunan, menimbulkan tanggung jawab, dengan pembagian tugas dan saling tolong menolong dalam mencapai suatu tujuan dan memperluas hubungan keluargaan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, karena keluarga itu adalah unsur dari masyarakat.

Pernikahan di Bawah Umur dan Perceraiannya

Fenomena pernikahan di usia belia seakan permasalahan yang selalu menarik. Secara fakta di daerah-daerah. Khususnya di daerah perdesaan.

Dilatarbelakangi berbagai unsur mengindikasi marak pernikahan di usia belia. Diantaranya, berhubungan pada aspek pendidikan. Rata-rata anak yang putus sekolah. Selain itu pergaulan bebas, kemajuan zaman, ekonomi keluarga, kebiasaan masyarakat, dan  malu akan kata "lapuk".

Secara ideal usia yang matang dalam berkeluarga idealnya bagi wanita yang berusia 20 tahun dan  laki-laki berkisar 25 tahun. Hal ini disebabkan usia tersebut batas perkembangan yang baik untuk menikah. 

Dari sisi Psokolgi lebih terkendali. Jika dibawah batas yang ditetapkan, cenderung kendali emosi lebih labil. Apalagi bagi yang belum terbiasa mandiri. Dan selalu bergantung dengan orang tua. Kecemasan akan terjadi perceraian ada dibayang-bayang mata.

Walaupun tidak selalu terjadi bagi mereka "yang awet pun masih banyak" loh.

Dalam petuah guru saya yang masih ingat. Belum masak tapi telah dipetik.  Belum puas dalam menikmati perjalanan tapi telah terputus. 

Terlalu dini memilih kumbang atau bunga dijambangan. Tapi, jangan sampai terlena ditaman bunga tidak terasa hari pun telah senja.

Dampak Perceraian Bagi Anak

Perpisahan Suami dan Istri. Insiden terburuk bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Walaupun secara konteks agama dibolehkan. Jika anak jadi korban, lebih baik dipertimbangkan dalam memutuskan keinginan. Sang Suami boleh mengatakan kepada istri adalah mantan dalam bahasa kasar "bekas". Begitupun sebaliknya pada Istri. Tapi, tidak buat anak!

Sri Esti Wuryani Djiwandono dalam bukunya "konseling tetapi" menguraikan bagaimana dampak perceraian orang tua.

1. Kesedihan karena kehilangan anggota keluarga. 

2. Ketakutan akan ditolak, dibuamg, dan dalam tidak berdaya.

3. Marah

4. Sakit hati dan sangat kesepian

5. Bersalah dan menyalahkan diri sendiri.

6. Kecemasan dan pengkhianatan.

Curup, 03 Juli 2019

Ibra Alfaroug

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun