Setelah diperhatikan secara cermat hikmat perkawinan seperti yang dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa perkawinan itu bukan saja hanya diperlukan oleh satu pihak saja (laki-laki atau perempuan), namun antara suami isteri yang telah terikat dalam suatu pernikahan akan saling melengkapi antar satu dengan lainnya.Â
Dengan perkawinan itu haruslah tercipta ketengan jiwa dan terhindar dari perbuatan yang maksiat, melanjutkan keturunan, menimbulkan tanggung jawab, dengan pembagian tugas dan saling tolong menolong dalam mencapai suatu tujuan dan memperluas hubungan keluargaan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, karena keluarga itu adalah unsur dari masyarakat.
Pernikahan di Bawah Umur dan Perceraiannya
Fenomena pernikahan di usia belia seakan permasalahan yang selalu menarik. Secara fakta di daerah-daerah. Khususnya di daerah perdesaan.
Dilatarbelakangi berbagai unsur mengindikasi marak pernikahan di usia belia. Diantaranya, berhubungan pada aspek pendidikan. Rata-rata anak yang putus sekolah. Selain itu pergaulan bebas, kemajuan zaman, ekonomi keluarga, kebiasaan masyarakat, dan  malu akan kata "lapuk".
Secara ideal usia yang matang dalam berkeluarga idealnya bagi wanita yang berusia 20 tahun dan  laki-laki berkisar 25 tahun. Hal ini disebabkan usia tersebut batas perkembangan yang baik untuk menikah.Â
Dari sisi Psokolgi lebih terkendali. Jika dibawah batas yang ditetapkan, cenderung kendali emosi lebih labil. Apalagi bagi yang belum terbiasa mandiri. Dan selalu bergantung dengan orang tua. Kecemasan akan terjadi perceraian ada dibayang-bayang mata.
Walaupun tidak selalu terjadi bagi mereka "yang awet pun masih banyak" loh.
Dalam petuah guru saya yang masih ingat. Belum masak tapi telah dipetik. Â Belum puas dalam menikmati perjalanan tapi telah terputus.Â
Terlalu dini memilih kumbang atau bunga dijambangan. Tapi, jangan sampai terlena ditaman bunga tidak terasa hari pun telah senja.
Dampak Perceraian Bagi Anak