Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fakta yang Menarik dari Pemilihan Pemimpin Desa

24 Juni 2019   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2019   08:33 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Pemilihan pemimpin merupakan salah satu berdemokrasi pada suatu masyarakat. Yaitu pemilihan pemimpin desa yang lebih dikenal dengan 'PILKADES'. Walau tidak seheboh dan semegah Pilpres dan Pilkada, Pilkades sangat menarik. Khusus menentukan sebuah pilihan dalam kurun waktu lima tahun kedepan.

Melihat perkembangan saat ini, banyak sekali masyarakat berlomba-lomba untuk menjadi Kepala Desa. Bahkan sarjana tamatan perguruan tinggi pun tidak luput dari kontestasi tersebut. Dengan berbagai argumen yang diutarakan. 

Mulai dari ingin mengabdi pada kampung halaman, gerakan pembaharuan, bahkan batu loncatan ke tingkat yang lebih tinggi atau embel-embel yang tidak kasat oleh mata.

Keinginan ini cenderung meningkat pada lima tahunan ini, dalam priode pemerintahan bapak Presiden Jokowi Widodo- Jusuf Kalla. Melalui program anggaran satu milyar perdesa yang dikucurkan pemerintah dalam satu tahun. 

Memberikan sugesti menggiurkan kontestan untuk rebutan menduduki kursi no satu di desa. Faktor ini bisa menjadi indicator keingginan mereka selain dari argument-argumen mulia yang diutarakan.

Dalam konteks ini saya tidak menyalahkan pemerintah, toh program pemerintah memiliki tujuan yang baik tapi salah digunakan pada tingkat bawah. Atau lost control dari pihak yang berwenang atau ada kongkalikong dari mereka. 

Ketika kebijakan pemerintah dari pusat turun ke daerah sampai dengan tingkat yang terbawah sering terjadi penyimpangan tujuan yang diharapkan. Ada gunting yang digunakan untuk memotong dan ada sabun yang digunakan untuk memperlancar jalan tersebut.

Kembali pada prihal pemilihan kepala desa. Menurut fenomenologi yang dipahami dalam kacamata awamku. Ada beberapa factor yang menarik bila melihat paparan diatas.

Pertama, benar-benar tujuan mulia. Yaitu keinginan untuk melakukan perubahan. Dengan ilmu serta pengalaman yang dimiliki, diberdayakan untuk kemajuan pada masyarakat tempat kelahiran.

Kedua, ada makna yang tersirat beraura negativ. Yaitu keinginan untuk kepentingan diri pribadi. Seperti memperkaya diri sendiri. Apalagi dengan anggaran dana yang besar berputar di Pedesaan. 

Jika melihat beberapa kasus di daerah, banyak terjadi penggelapan dana atau pungli yang dilakukan pemimpin di desa beserta kroni-kroninya. Jadi korupsi bukan hanya terjadi tataran tingkat tinggi. Tapi, tingkat akar rumput pun sangat marak terjadi.

Ketiga, batu loncatan. Yaitu keinginan tersembunyi untuk meloncat ke tingkat yang lebih tinggi seperti loncatan duduk dikursi no satu kabupaten sebagai tujuan. Seperti calon wakil rakyat tingkat kabupaten.

Timbul suatu pertanyaan mengapa?. Berdasarkan pandangan awam dengan statistic dan kalkulasi recehan. Dengan sudut pandang  pada daptar pemilih tetap (DPT) di desa, mencapai kurang lebih seribu pemilih. Terdapat delapan puluh persen suara pemilih pasti sebagai basis suara. 

Maka, delapan ratus suara milik sah bagi calon. Dan ditambah dengan suara desa-desa sekitar, baik karena tali emosional atau transaksional. Apalagi didukung perahu yang ditumpangi punya brand pada masyarakat. 

Disertai teman-teman satu perahu yang solid. Jika harga satu kursi tiga ribu suara untuk duduk dari dapil yang diwakili. Betapa besar kemungkinan akan duduk.

Kalkulasi ini sangat menarik bila dihubungkan dalam hal pemilu legsilatif tingkat kabupaten. Jika sewaktu menjadi kepala desa memiliki nama yang harum di masyarakat kemungkinan pun dapat tercapai. 

Berdasarkan kalkulasi, calon yang berangkat dari jenjang kepala desa yang punya nama memiliki suatu keberuntungan. Yaitu  tanpa harus Money Oriented untuk membeli suara pemilih. Petuah lama berkata "kalau budi telah tertanam sangatlah sulit untuk terbalas akan selalu dikenang sepanjang zaman".

Dan juga bisa terjadi sebaliknya, jika sewaktu menjadi pemimpin tidak punya nama. Suara basis yang diperhitungkan akan melenceng dari apa yang diharapkan.

Inilah sebuah potret yang menarik menurut versiku.

Hubungan Pilkades Sebagai Miniature Pilpres

Walau jelas berbeda antara Pilkades dengan Pilpres baik secara Prosedur, Mekanisme bahkan Implikasi tapi ada sedikit persamaan yang menjadi sebuah catatan penting.  

Dalam skala Pilpres jauh lebih bombastis dan menohok dari Pilkades. Semua orang pasti tahu akan itu. Tapi, dalam hal ini mengapa tidak untuk menghubungkan antara persamaan dan perbedaan diantara keduanya.

Persamaan dan Perbedaan

Dipilih secara langsung. Tapi bedanya, Pemilihan kepala desa lebih dulu menerapkan sistem pemilihan langsung. Kalau Pilpres baru dilakukan di tahun 2004.

Koalisi. Pilpres harus didukung parpol. Tapi, Pilkades hanya beberapa tokoh yang dianggap berpengaruh di masyarakat.

Financial. Pilpres disupport financial yang besar. Baik dari diri pribadi, donatur dan Parpol pendukung. Sedangkan Pilkades hanya menggunakan kas pribadi, keluarga dan donatur bila ada.

Panitia penyelenggara. Pemilihan pilpres disenggalarakan oleh KPU dan Bawaslu. Sedangkan Pilkades hanya dengan panitia yang dibentuk oleh BPD desa berdasarkan instruksi pemerintahan daerah.

Biaya penyelenggaran. Pilpres berdasarkan dana Negara. Sedangkan Pilkades hanya iuaran dari sang calon berdasarkan ketetapan bersama dengan panitia.

Kampanye.

Sengketa berujung ricuh. Pilpres berujung di MK. Pilkades di musyawarah bersama di Desa.

Jalan Damai Penyelsaian Masalah

Dalam sebuah arena pertandingan pasti ada yang menang dan kalah. Begitu pun pemilihan kepala desa. Kekecewaan pasti akan terjadi, saling curiga mencurigakan bahkan berujung perseteruan antar pendukung.

Blokade jalan, penyitaan barang sesuatu yang dipinjam, pengusiran tetangga yang bertuan lahan, pemutusan kontrak/perjanjian, pemutusan hubungan keluarga bahkan ermusuhan pada pemenang beserta pendukungnya. Inilah yang terjadi dari pemilihan kepala dibeberapa desa.

Lucunya, kejadian ini berlangsung tidak lama seiring waktu, akan damai kembali. Karena, biasanya di masyarakat petuah orang di tua-kan lebih berfungsi. Dan hubungan keluarga saling tumpang tindih di masyarakat masih rekat berdasarkan silsilah atau perkawinan antar sesama warga.

Curup, 24 Juni 2019

Ibra Alfaroug

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun