Jika melihat beberapa kasus di daerah, banyak terjadi penggelapan dana atau pungli yang dilakukan pemimpin di desa beserta kroni-kroninya. Jadi korupsi bukan hanya terjadi tataran tingkat tinggi. Tapi, tingkat akar rumput pun sangat marak terjadi.
Ketiga, batu loncatan. Yaitu keinginan tersembunyi untuk meloncat ke tingkat yang lebih tinggi seperti loncatan duduk dikursi no satu kabupaten sebagai tujuan. Seperti calon wakil rakyat tingkat kabupaten.
Timbul suatu pertanyaan mengapa?. Berdasarkan pandangan awam dengan statistic dan kalkulasi recehan. Dengan sudut pandang  pada daptar pemilih tetap (DPT) di desa, mencapai kurang lebih seribu pemilih. Terdapat delapan puluh persen suara pemilih pasti sebagai basis suara.Â
Maka, delapan ratus suara milik sah bagi calon. Dan ditambah dengan suara desa-desa sekitar, baik karena tali emosional atau transaksional. Apalagi didukung perahu yang ditumpangi punya brand pada masyarakat.Â
Disertai teman-teman satu perahu yang solid. Jika harga satu kursi tiga ribu suara untuk duduk dari dapil yang diwakili. Betapa besar kemungkinan akan duduk.
Kalkulasi ini sangat menarik bila dihubungkan dalam hal pemilu legsilatif tingkat kabupaten. Jika sewaktu menjadi kepala desa memiliki nama yang harum di masyarakat kemungkinan pun dapat tercapai.Â
Berdasarkan kalkulasi, calon yang berangkat dari jenjang kepala desa yang punya nama memiliki suatu keberuntungan. Yaitu  tanpa harus Money Oriented untuk membeli suara pemilih. Petuah lama berkata "kalau budi telah tertanam sangatlah sulit untuk terbalas akan selalu dikenang sepanjang zaman".
Dan juga bisa terjadi sebaliknya, jika sewaktu menjadi pemimpin tidak punya nama. Suara basis yang diperhitungkan akan melenceng dari apa yang diharapkan.
Inilah sebuah potret yang menarik menurut versiku.
Hubungan Pilkades Sebagai Miniature Pilpres
Walau jelas berbeda antara Pilkades dengan Pilpres baik secara Prosedur, Mekanisme bahkan Implikasi tapi ada sedikit persamaan yang menjadi sebuah catatan penting. Â