Mohon tunggu...
Mukmin
Mukmin Mohon Tunggu... Wiraswasta - .

Bukan anak Presiden, hanya orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akhlak Mulia Lebih Utama dari Ilmu

5 Desember 2024   12:04 Diperbarui: 5 Desember 2024   12:11 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akhlak Mulia Lebih Utama dari Ilmu. Foto: Pixabay/Sasint

UNGKAPAN 'Akhlak lebih utama dari ilmu' sering kali kita dengar. Ungkapan itu menegaskan bahwa memiliki akhlak mulia adalah landasan penting sebelum seseorang mendalami dan menguasai ilmu pengetahuan. Hal ini mencerminkan bahwa ilmu tanpa akhlak dapat membawa kemudaratan, sementara akhlak yang baik akan menuntun seseorang untuk memanfaatkan ilmunya demi kebaikan bersama.

Akhlak yang baik berfungsi sebagai kompas moral yang mengarahkan seseorang untuk menjauhi keburukan dan mendekatkan diri pada kebaikan. Dalam Islam, akhlak mulia tidak hanya menjadi tuntutan, tetapi juga bagian dari ibadah. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" (HR. Ahmad). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya akhlak dalam kehidupan seorang Muslim.

Akhlak meliputi cara seseorang berucap, bertindak, dan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun tempat kerja. Seseorang yang memiliki akhlak baik akan menunjukkan rasa hormat, kejujuran, empati, dan tanggung jawab, yang semuanya mencerminkan keimanan yang kokoh.

Bagi mereka yang berilmu, terutama ustadz atau ulama, memiliki akhlak mulia adalah hal yang mutlak. Ilmu yang dimiliki seorang ulama tidak hanya dimanfaatkan untuk dirinya sendiri tetapi juga harus menjadi manfaat bagi masyarakat. Tanpa akhlak, ilmu bisa disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau bahkan merugikan orang lain.

Sebuah video viral yang banyak dibicarakan netizen di media sosial tentang tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang tokoh yang biasa disapa Gus oleh para pengikutnya. Peristiwa tersebut terjadi di sebuah acara salawatan, di mana Gus tersebut melontarkan candaan yang dianggap tidak pantas kepada seorang penjual minuman.

Dalam video itu terlihat seorang penceramah menyebut penjual minuman dengan kata g*blok di hadapan banyak orang. Penjual minuman tersebut tampak tersinggung dan merasa malu karena tawa dari para hadirin yang menyaksikan kejadian itu. Meski candaan tersebut mungkin dimaksudkan untuk mencairkan suasana, respons negatif dari netizen menunjukkan bahwa ucapan tersebut dianggap kelewat batas dan tidak menghormati martabat orang lain.

Kejadian ini memicu beragam reaksi di media sosial. Sebagian besar warganet mengecam tindakan tersebut dan menganggap seorang tokoh publik, apalagi dengan predikat Gus, seharusnya bisa menjaga tutur kata serta memberikan teladan yang baik. Beberapa pengguna media sosial juga menyerukan permintaan maaf secara terbuka sebagai bentuk tanggung jawab moral.  

Seorang ulama atau tokoh yang dihormati, seperti digelari Gus di kalangan masyarakat Indonesia, memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ucapan dan perilaku. Setiap kata yang keluar dari mulut seharusnya tidak menyakiti hati atau menyinggung perasaan orang lain. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengajarkan nilai-nilai akhlak yang mulia jika dirinya sendiri tidak mampu menjadi contoh yang baik bagi para pengikutnya?

Semakin dalam ilmu agama yang dimiliki seseorang, semestinya semakin luhur pula akhlak dan perbuatannya. Ilmu agama bukan hanya untuk dikuasai secara teori, tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi cerminan nilai-nilai yang diajarkan.

Rasulullah Muhammad SAW adalah manusia yang memiliki akhlak yang mulia. Ia dikenal sebagai sosok yang penuh perhatian dan memiliki rasa empati terhadap umatnya. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad saw digambarkan sangat peduli terhadap kebutuhan keluarga, para sahabat, hingga orang-orang miskin dan terpinggirkan.

Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah selalu memberikan perhatian khusus kepada kaum yang lemah, seperti anak yatim, janda, dan fakir miskin. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Perkataan ini mencerminkan prinsip hidup Rasulullah yang selalu mementingkan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain.

Dalam sebuah kisah, Nabi Muhammad saw memberikan bantuan kepada suku Badui yang tengah menghadapi kesulitan. Beliau dengan keihklasan diri meminjamkan gandum dan kurma sebagai bentuk kebaikan dan kepedulian.

Sikap mulia Rasulullah saw ini mencerminkan keteladanan luar biasa dalam membantu sesama, khususnya mereka yang berada dalam kesulitan. Tidak pernah sekalipun Nabi saw menghardik atau mencela orang-orang yang datang memohon pertolongan, termasuk suku Badui tersebut. Sebaliknya, beliau senantiasa menyambut mereka dengan keramahan dan kasih sayang.

Sikap seperti ini seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang memegang peran penting sebagai ulama. Seorang ulama tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu agama, tetapi juga untuk menerapkannya dalam tindakan sehari-hari. Mereka seharusnya menjadi contoh dalam membantu orang-orang yang membutuhkan, menolong mereka yang sedang kesusahan, dan tidak mencela atau mempermalukan orang miskin yang datang meminta bantuan.

Sangat disayangkan ketika seorang figur publik yang menyandang gelar Gus, yang seharusnya menjadi teladan dalam sikap dan tutur kata, justru menunjukkan perilaku yang tidak terpuji dengan melontarkan kata-kata kasar kepada seorang penjual minuman. Penjual tersebut hanya berusaha mencari rezeki untuk menghidupi keluarganya, sebuah perjuangan yang semestinya dihargai dan didukung.

Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat, seharusnya beliau menunjukkan sikap yang mulia, seperti memberikan dukungan atau bahkan membantu mempromosikan dagangan penjual tersebut. Hal ini tentu akan menciptakan kebahagiaan bagi si penjual, yang dapat pulang dengan hati senang karena dagangannya laku terjual.

Berbuat baik adalah tindakan mulia yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, tidak jarang jalan untuk melakukannya dihadang oleh berbagai rintangan. Salah satu hambatan terbesar adalah sikap sombong dan angkuh yang muncul akibat kekayaan, jabatan, atau status sosial yang dimiliki. Sifat ini sering kali membuat seseorang merasa lebih mulia dibandingkan orang lain, sehingga mudah meremehkan atau bahkan menghina orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.

Kesombongan tidak hanya menciptakan kesenjangan antara individu, tetapi juga berpotensi merusak diri sendiri. Sifat ini dapat menutupi hati dan pikiran dari kebenaran, serta menghambat seseorang untuk berempati dan membantu sesama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan hati yang bersih dan dijauhkan dari sifat sombong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun