Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah selalu memberikan perhatian khusus kepada kaum yang lemah, seperti anak yatim, janda, dan fakir miskin. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain." Perkataan ini mencerminkan prinsip hidup Rasulullah yang selalu mementingkan kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain.
Dalam sebuah kisah, Nabi Muhammad saw memberikan bantuan kepada suku Badui yang tengah menghadapi kesulitan. Beliau dengan keihklasan diri meminjamkan gandum dan kurma sebagai bentuk kebaikan dan kepedulian.
Sikap mulia Rasulullah saw ini mencerminkan keteladanan luar biasa dalam membantu sesama, khususnya mereka yang berada dalam kesulitan. Tidak pernah sekalipun Nabi saw menghardik atau mencela orang-orang yang datang memohon pertolongan, termasuk suku Badui tersebut. Sebaliknya, beliau senantiasa menyambut mereka dengan keramahan dan kasih sayang.
Sikap seperti ini seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam, terutama bagi mereka yang memegang peran penting sebagai ulama. Seorang ulama tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu agama, tetapi juga untuk menerapkannya dalam tindakan sehari-hari. Mereka seharusnya menjadi contoh dalam membantu orang-orang yang membutuhkan, menolong mereka yang sedang kesusahan, dan tidak mencela atau mempermalukan orang miskin yang datang meminta bantuan.
Sangat disayangkan ketika seorang figur publik yang menyandang gelar Gus, yang seharusnya menjadi teladan dalam sikap dan tutur kata, justru menunjukkan perilaku yang tidak terpuji dengan melontarkan kata-kata kasar kepada seorang penjual minuman. Penjual tersebut hanya berusaha mencari rezeki untuk menghidupi keluarganya, sebuah perjuangan yang semestinya dihargai dan didukung.
Sebagai tokoh yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat, seharusnya beliau menunjukkan sikap yang mulia, seperti memberikan dukungan atau bahkan membantu mempromosikan dagangan penjual tersebut. Hal ini tentu akan menciptakan kebahagiaan bagi si penjual, yang dapat pulang dengan hati senang karena dagangannya laku terjual.
Berbuat baik adalah tindakan mulia yang seharusnya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, tidak jarang jalan untuk melakukannya dihadang oleh berbagai rintangan. Salah satu hambatan terbesar adalah sikap sombong dan angkuh yang muncul akibat kekayaan, jabatan, atau status sosial yang dimiliki. Sifat ini sering kali membuat seseorang merasa lebih mulia dibandingkan orang lain, sehingga mudah meremehkan atau bahkan menghina orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.
Kesombongan tidak hanya menciptakan kesenjangan antara individu, tetapi juga berpotensi merusak diri sendiri. Sifat ini dapat menutupi hati dan pikiran dari kebenaran, serta menghambat seseorang untuk berempati dan membantu sesama. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan hati yang bersih dan dijauhkan dari sifat sombong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H