DALAM Islam, menikah merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Namun, pelaksanaannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar pernikahan tersebut sah secara agama.Â
Salah satu syarat penting adalah pemberian mahar atau mas kawin oleh pengantin pria kepada pengantin wanita. Mahar ini memiliki fleksibilitas dalam bentuk dan jumlahnya, tergantung pada kemampuan finansial pengantin pria.Â
Jika mampu, pria dianjurkan memberikan mahar terbaik sebagai wujud tanggung jawab dan penghormatan kepada calon istrinya. Namun, bagi yang terbatas secara ekonomi, Islam tetap memberikan kelonggaran untuk memberikan mahar yang sesuai dengan kemampuannya.
Selain mengikuti tuntunan agama, masyarakat Indonesia juga menjunjung tinggi adat dan budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial.Â
Dalam pernikahan, adat sering kali memengaruhi tata cara, simbol, hingga kebutuhan finansial. Di banyak daerah, ketidakpatuhan terhadap adat tertentu dapat berujung pada sanksi sosial, sehingga masyarakat merasa berkewajiban menjalankannya dengan baik.
Adat istiadat terkait pernikahan di Indonesia sangat beragam. Sebagai contoh, di Provinsi Aceh, mahar biasanya diberikan dalam bentuk emas dengan satuan mayam.Â
Saat ini, harga satu mayam emas di Aceh berkisar sekitar Rp4,3 juta. Dalam praktiknya, jumlah emas yang dijadikan mahar biasanya mulai dari 8 mayam, tergantung kesepakatan keluarga kedua mempelai.Â
Dengan perhitungan tersebut, nilai mahar minimal mencapai Rp34,4 juta. Jumlah ini bisa jauh lebih besar, bahkan mencapai puluhan atau ratusan mayam, tergantung pada status sosial dan kemampuan finansial keluarga pengantin pria.
Bagi masyarakat di luar Aceh, biaya pernikahan semacam ini mungkin terlihat sangat tinggi. Namun, bagi masyarakat Aceh sendiri, jumlah tersebut dianggap wajar dan sesuai dengan tradisi yang berlaku. Hal ini mencerminkan bahwa adat dan budaya sangat memengaruhi standar biaya pernikahan di setiap daerah.
Secara umum, fenomena biaya pernikahan yang tinggi tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di berbagai daerah lainnya. Persiapan pernikahan, seperti menyewa pakaian pengantin, seserahan, dekorasi, dan konsumsi, sering kali membutuhkan biaya yang besar.Â
Bahkan, kebutuhan kecil seperti menyewa baju pengantin saja dapat menelan biaya jutaan rupiah. Oleh karena itu, menikah tidak hanya menjadi langkah spiritual, tetapi juga memerlukan kesiapan finansial yang matang.
Di Indonesia, pernikahan sering dianggap sebagai momen sakral yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Karena itu, banyak pasangan dan keluarga merasa bahwa acara pernikahan harus dirayakan semeriah mungkin.Â
Tradisi ini sering kali diwujudkan dengan menyewa gedung mewah, menyediakan hidangan istimewa, hingga mengundang artis terkenal sebagai pengisi acara. Namun, kemegahan tersebut tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Ironisnya, masih banyak pasangan yang memaksakan diri untuk mengadakan pesta pernikahan yang megah meskipun kondisi keuangan mereka tidak mendukung.Â
Tak jarang, mereka terpaksa meminjam uang demi mewujudkan pesta impian. Akibatnya, kebahagiaan di hari pernikahan bisa berubah menjadi beban finansial jangka panjang. Kondisi ini memunculkan ungkapan: "Bahagia di pelaminan, sengsara di tagihan."
Jika kita kembali pada ajaran Islam, Rasulullah SAW memberikan teladan tentang kesederhanaan dalam pernikahan. Beliau pernah bersabda: "Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing." (HR. Bukhari dan Muslim).Â
Sabda ini mengandung makna bahwa inti dari pernikahan bukanlah kemewahan atau besarnya pesta, melainkan pelaksanaan sunah yang bertujuan untuk menjaga diri dari perbuatan keji dan maksiat.
Tradisi walimah dalam Islam sebenarnya lebih menekankan pada niat dan kebersamaan, bukan pada besarnya anggaran. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, rata-rata biaya pernikahan di Indonesia mencapai Rp 70 juta, angka yang cukup besar untuk sebagian besar masyarakat.Â
Padahal, prinsip sederhana dalam pernikahan bisa tetap menjaga kebahagiaan pasangan tanpa membebani kondisi finansial keluarga.
Berhutang untuk Biaya Pernikahan, Bijakkah?
Banyak faktor yang mendorong seseorang memberanikan diri untuk berhutang demi memenuhi biaya resepsi pernikahan. Di antaranya adalah gaya hidup hedonis, tekanan lingkungan, serta tradisi.Â
Faktor-faktor ini sering kali membuat seseorang rela mencari pinjaman ke sana kemari. Ditambah lagi, minimnya literasi mengenai hakikat pernikahan dan pengelolaan keuangan menyebabkan individu kehilangan kontrol.Â
Akibatnya, mereka sering kali menganggap bahwa hutang bisa dengan mudah dilunasi menggunakan gaji di masa depan. Padahal, di awal pernikahan, stabilitas finansial sangat penting untuk menghindari kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pentingnya Stabilitas Keuangan di Awal Pernikahan
Bagi pasangan muda, memanfaatkan usia produktif secara optimal sangatlah krusial. Jika penghasilan utama dari gaji belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari dan cicilan hutang, mencari sumber pendapatan tambahan bisa menjadi solusi. Contohnya, mencoba usaha kecil-kecilan, berjualan online, atau mengambil pekerjaan paruh waktu yang tidak mengganggu pekerjaan utama.
Selain itu, pasangan perlu membuat perencanaan keuangan yang matang. Langkah pertama adalah menyusun anggaran untuk memastikan pembayaran hutang tidak mengganggu kebutuhan lainnya.Â
Catat semua pengeluaran wajib setiap bulan dan hentikan sementara pengeluaran tidak penting, seperti kebiasaan membeli makanan mahal atau barang konsumtif. Pengendalian ini dapat membantu memperbaiki kondisi keuangan keluarga.
Tidak kalah penting, sisihkan sebagian penghasilan untuk bersedekah. Dalam banyak keyakinan, bersedekah dipercaya dapat membuka pintu rezeki yang lebih luas.
Menabung dan Berinvestasi Sebelum Menikah
Bagi yang belum menikah, persiapkan diri secara finansial dengan bekerja keras dan menabung. Mengelola penghasilan dengan baik, termasuk berinvestasi untuk kebutuhan jangka menengah dan panjang, bisa menjadi langkah bijak. Hindari gaya hidup boros atau aktivitas yang tidak produktif bersama teman-teman.
Sebagai contoh, sebagian masyarakat di Aceh memiliki kebiasaan berinvestasi emas. Setiap kali menerima gaji bulanan, mereka membeli emas sebagai bentuk tabungan.Â
Strategi ini cukup efektif, mengingat harga emas cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Ketika tiba waktunya menikah, emas tersebut bisa dijual untuk menutupi biaya pernikahan, termasuk keperluan seperti mahar, dekorasi, atau konsumsi.
Mengadakan resepsi pernikahan yang meriah memang bisa menjadi impian banyak pasangan. Namun, perlu disadari bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari seberapa besar pesta yang diadakan, tetapi juga dari kualitas kehidupan setelahnya.Â
Memulai kehidupan rumah tangga tanpa beban hutang yang berat akan membuat pasangan lebih siap menghadapi berbagai tantangan di masa depan.Â
Dengan perencanaan keuangan yang baik, kontrol pengeluaran, dan kesadaran untuk tidak memaksakan diri, pernikahan tidak hanya menjadi momen bahagia, tetapi juga awal dari kehidupan rumah tangga yang stabil dan harmonis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI