Mohon tunggu...
muklisin purnomo
muklisin purnomo Mohon Tunggu... Guru - Guru Ngaji

Penggiat Literasi Dakwah di Kulon Progo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pamer Kekayaan Itu Membanggakan Dosa

14 Maret 2023   07:47 Diperbarui: 14 Maret 2023   08:06 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dekade ini terjadi sebuah fenomena kehidupan sosial yang bernama flexing. Fenomena ini seperti ditandai dengan maraknya gaya hidup seseorang dengan bangganya memamerkan harta kekayaannya yang dimilikinya. Mereka dengan sangat jumawa menunjukkan memamerkan barang-barang mewah, membeli properti, memiliki aset berharga, atau menunjukkan kemampuan untuk melakukan pembelian yang besar.

 Terdapat berbagai alasan kenapa seseorang melakukan flexing.  Beberapa alasan umum adalah untuk menunjukkan status mereka, memperoleh pengakuan sosial atau agar dianggap orang yang sukses dalam lingkungan tertentu, atau untuk menjalin koneksi bisnis. Namun, memamerkan kekayaan juga dapat menjadi tindakan yang merendahkan dan tidak pantas. Apalagi jika dilihat dari tinjauan agama Islam.

Kekayaan Itu Titipan 

Dalam literatur Islam harta kekayaan itu dianggap sebagai sebuah Amanah atau titipan tuhan yang berfungsi sebagai fitnah/ujian bagi manusia (QS.at-Taghabun). Harta dan kekayaan adalah sebatas perantara untuk menggapai ridha dan dekapan kasih sayang dari yang Maha Rahman. Allah-lah yang memiliki segala sesuatu yang ada alam mayapada ini. Dan bukti bahwa apa yang kita miliki ini adalah titipan adalah laporan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh seorang hamba di hari akhir (QS. Al-Baqarah-284). Dalam penggunaannya mereka dituntut untuk memperhatikan norma-norma yang telah digariskan oleh syariat Islam.

Pada saat memiliki kekayaan, seseorang harus memiliki pertimbangan untuk menggunakan sumber daya dengan bijak dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Mengunakan sebagai kekayannya untuk berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan diri sebagai bentuk investasi jangka panjang yang lebih berarti daripada sekadar memamerkan kekayaan. Selain itu, tidak lupa sebagian dari kekayaannya digunakan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan atau mendukung organisasi sosial yang berperan penting

Konsep ini tentu saja bertentangan dengan kaum hedonis yang menganggap bahwa mereka adalah penguasa mutlak dari kekayaan yang mereka miliki (milk at-tam). Kekayaan yang mereka miliki menjadikannya bebas sesuka hati, hidup royal untuk menunjukkan eksistensi dan mendorong populeritas bahwa mereka adalah kaum berduit. Mampu memuaskan semua  hasrat dan keinginan yang terpendam tanpa pernah memiliki rasa khawatir tentang adanya hisab di hari perhitungan nanti.

Dosa yang Dibanggakan

Segelintir orang yang merasa memiliki kekayaan, terlihat bahwa harta kekayaan yang mereka miliki justru menjadi sumber bencana dan fitnah yang mengalirkan dosa bagi mereka. Dengan kekayaan yang mereka kuasai, mereka bersikap angkuh di depan masyarakat. Orang kaya yang tidak memiliki sikap tawadhu' akan sulit mengontrol pribadi dan sosial. Hilangnya system control diri akan berujung pada sikap israf (menghambur-hamburkan harta) yang jelas-jelas dilarang oleh al-Qur'an.

Dalam kajian islam kita bisa melihat pesan nabi yang melarang umatnya untuk menjauhi sikap syuhrah (upaya menaikkan popularitas). Abu Abdur Rahman dalam Kitab al-Jami' as-Saghir terdapat sebuah redaksi hadis:

, "waspadailah oleh kalian dua pakaian kemasyhuran, wol dan sutra."

Muhammad Al-Munawi dalam Kitab Faidhul Qadir memberikan keterangan redaksi matan hadis diatas menyebut bahwa hal-hal yang menaikkan populeratias adalah perbuatan yang dihukumi makruh dan tercela. Dua pakian yang mendongkrak popularitas pada saat itu adalah pakian yang terbuat dari wol dan sutra. Jika pakaian saja yang menjadi kebutuhan pokok seseorang tidak diperkenankan berlebihan, apalagi memamerkan kekayaan-kekayaan lain. Penggunaan harta yang berlebihan apalagi dapat mendorong seseorang terjerumus pada perbuatan takabur, jumawa dan congkak.

Mencari popularitas atau hubbul jah (gila hormat) menurut Hujjatul Islam al-Ghazali dianggap sebagai sumber kahancuran dan merupakan dosa yang ditampakkan di depan publik. Takabbur adalah pakaian kebesaran Tuhan sebagai sang Khaliq yang tidak layak disandang oleh manusia sebagai makhluk-Nya. Orang yang berani memakai pakaian kebesaran Tuhan akan mendapat balasan berupa Neraka Jahannam di hari akhir kelak.  

Orang yang senang memamerkan kemewahan dengan harta yang didapatkan sesungguhnya melupakan esensi dari esensi kehidupan dunia. Kehidupan dunia sesungguhnya sekedar ladang untuk mencari bekal pulang sebelum menghadap Allah. Pamer kekayaan hanya akan mengantarkan pada kecelakaan yang dahsyat pada mereka pulang kepada Allah karena harus mendekam di neraka jahanam karena perbuatannya. Semua yang harta yang dibanggakan-bangkan dan dipamerkan itu semua akan memperberat proses hisabnya di alam sana. Anugrah yang diberikan Tuhan kepada hambanya seharus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memperbanyak bekal dalam mengarungi kehidupan abadi di akhirat bukan untuk dipamerkan atau bukan untuk diperlombakan bukan hanya untuk ditampilkan.

Refleksi diri

Praktek fleksing ini tidak hanya menjangkiti orang-orang yang memiliki kemampuan yang berlebih.  Setiap orang memiliki kecenderungan ini karena setiap orang pasti memiliki rasa bangga di dalam hatinya Ketika orang lain berdecak kagum heran terhadap prestasi atau barang yang kita miliki. Di sinilah keyakinan kita akan teruji, apakah kita menjadi takabbur dan gila pujian atau justru semakin rendah hati, dan mengembalikan semua prestasi itu sesungguhnya berasal dari Tuhan dan semua pujian hanyalah milik-Nya.

Di sinilah pentinya kita terus mengasah sikap iffah dan sabar agar senantiasa menjaga diri dan memiliki control diri yang kuat. Kita perlu mengelola hati agar senantiasa dihiasi sikap tawadhu tidak memiliki Hasrat untuk pamer, sehingga kita mampu tampil menjadi pribadi yang bersahaja dengan membeli segala sesuai sesuai dengan kegunaan dan kebutuhan bukan sekedar memenuhi keinginan, apalagi untuk dipamerkan. Dengan memupuk rasa empati dan simpati kepada orang-orang Nasibnya kurang beruntung, dana kita bisa kita sisihkan untuk diinfakkan kepada mereka.  Kita tidak mudah terjerumus pada perlombaan meningkatka prestise dan leve kemewhan dan fleksing, tetapi secara sadar hidup samadya berakhlaqul karimah sesui dengan tuntunan qur'an dan sunnah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun