Mohon tunggu...
Muklinatun Sofa Nafisah
Muklinatun Sofa Nafisah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - sophaaa

sedang berusaha untuk bisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berjalan di Atas Cita-Cita Orang Tua

26 Juli 2024   08:56 Diperbarui: 26 Juli 2024   09:03 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan kelas XII SMA adalah masa-masa paling krisis untuk bisa menentukan pilihan setelah lulus sekolah. Semua tidak bisa diputuskan setelah acara kelulusan karena memang tahapnya akan tertinggal ketika dihadapkan oleh dua pilihan yaitu melanjutkan jenjang pendidikan tinggi atau menata karir. Semua anak SMA pasti merasakan hal yang sama ketika sudah menuju penghujung tahun terakhir sekolah. Masa-masa indah saat sekolah akan tergantikan dengan kehidupan yang sesungguhnya untuk mencari jati diri masing-masing. Masa depan seseorang akan terbentuk mulai saat itu.

Hal tersebut dirasakan juga oleh Viona. Ia adalah salah satu siswi di SMA Pelita Bangsa kelas XII yang sebentar lagi akan lulus. Viona merupakan gadis cantik dengan perawakan tinggi semampai dan berkulit kuning langsat. Ia masuk di jurusan IPA, meskipun begitu ia memiliki hobi suka menulis, entah itu quotes, puisi, bahkan cerpen. Untuk mendukung hobinya tersebut, ia mengikuti ekskul jurnalistik agar bisa menuangkan karyanya di blog milik sekolah.

Jam istirahat tiba, Viona keluar kelas langsung menuju kantin setelahnya ia duduk dibawah pohon rindang di taman sekolah. "Woe bengong aja lu", sontak Viona menoleh ke sumber suara. Di belakangnya sudah berdiri sosok laki-laki yang tak lain adalah Dito. Dito adalah teman sekelas Viona, salah satu temen cowok yang akrab dengannya selain sahabat ceweknya. "Enggak, lagi menikmati udara segar taman sekolah", jawab Viona diikuti dengan tawa renyah khasnya. "Ngapain sendirian disini? Biasanya lu udah ngerumpi tuh sama geng emak-emak lu", sambar Dito ngeledek. "Yeeeh lu juga, ngapain buntutin gua kemari? Ngapa gak ngumpul tuh sama tongkrongan duda lu?" Viona tak mau kalah. Akhirnya mereka berdua menghabiskan waktu istirahat dengan ngobrol berdua di taman sekolah.

Di tengah obrolan dua manusia tahun terakhir di SMA, mereka lebih banyak membicarakan tentang kelanjutannya setelah lulus. Sebenarnya Viona banyak mendapat masukan dari teman kelasnya untuk kuliah di jurusan hukum bareng Dito, karena mereka berdua memiliki karakter debat yang kuat ketika di kelas. Akan tetapi, Viona tidak pernah tertarik karena selain ia memang tidak ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, ia juga merasa jurusan tersebut bukan passion-nya. Selain itu juga ia lebih suka menulis dibandingkan dengan menghafalkan undang-undang yang sebegitu banyaknya. Menurutnya itu akan menyita waktunya untuk mendapatkan inspirasi tulisan juga imajinasinya.

Drrrrtttt. Ponsel Viona sudah bergetar sejak 5 menit yang lalu. Si empunya masih asyik dengan buku diarynya di balkon dan ponselnya ia tinggal di kamar. Setelah selesai dengan kegiatannya, Viona kembali ke kamar. Ia memeriksa ponselnya. Tertulis tujuh panggilan tak terjawab dari kontak bernama 'ibu'. Viona segera menghubungkan ulang sambungan telepon kepada ibunya. Terdengar suara di seberang sana mengucapkan salam. "Lagi apa Vi?", "Lagi ini bu mau siap-siap pergi bimbel nanti jam 2", jawab Viona. "Oalah yaudah kalau gitu, cepetan ini udah mau jam 2", jawaban ibunya membuat Viona sedikit bingung. Kembali ia bertanya "Ibu tadi nelpon mau bicara apa?" "Nggak ada, ibu cuma pengen tanya kamu lagi ngapain disana". Tak lama kemudian setelah berbincang, ibu Viona memutus panggilan dan Viona segera mempersiapkan diri pergi bimbel masuk perguruan tinggi.

***

Malam menuju tidur Dito tiba-tiba teringat pada Viona, kemudian ia mengambil ponsel dan mengirimkan pesan singkat.

Dito : Vi kamu besok ada agenda ga? Jogging yuk?

Viona : Oke, aku tunggu depan asrama jam 05.30

Dito : Oke

"Waktu tinggal sehari lagi buat mutusin mau kuliah dimana? Ambil jurusan apa? Arrgghhhh", Viona merasa sangat frustasi dengan detik yang terus berputar, sedangkan pikirannya hanya bisa stuck. Sejak masuk SMA memang hasrat untuk kuliahnya sudah pupus. Dari awal ia ingin mengambil jurusan bahasa, namun dalam keluarganya terutama orang tuanya tidak mendukungnya dan memintanya untuk masuk ke jurusan IPA saja yang sesuai dengan kemampuan akademiknya. Akhirnya ia tidak memiliki pilihan lain selain menuruti orang tuanya dan pada saat itu belum terpikirkan dampak di masa sekarang ini. Sesungguhnya ia sangat menyesal, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. Sekarang semua keputusan dan pilihan jatuh di tangannya. Penentuan masa depan yang lebih cerah tergantung pada pilihannya saat ini yang bisa mengentaskan dari penyesalan agar tidak menjadi berkepanjangan.

***

5 KM sudah Viona dan Dito berputar mengitari lapangan. "Wah capek banget ya ternyata. Udah lama ga pernah olahraga", celetuk Viona. Kemudian ia duduk di rerumputan disusul Dito duduk di sebelahnya. "Makanya hidup tuh olahraga, nggak rebahan mulu", balas Dito. Viona melirik ke arah Dito kemudian kembali berbicara "Eh lu beneran keluar dari bimbel? Kenapa? Cita-cita lu jadi lawyer kandas? Coba cerita", "Lu mau nanya apa mau beli sayur? Mrepet mulu tuh mulut", sontak Dito memandang ke arah Viona yang hanya dibalas dengan nyengir kuda. "Gimana ya? Menurut gua sama aja, bimbel bikin gua pusing udah nanti sebisanya aja dah. Kalau ditakdirkan kuliah ya gua berangkat aja, hahaha", jawab Dito santai, kemudian Viona hanya ber 'oh' ria.

Panjang obrolan mereka hingga sampai pada Dito menanyakan keberlanjutan Viona setelah lulus SMA. Sebenarnya Dito udah lama geram ingin menanyakan hal tersebut, namun ia ragu karena takut akan mengusik Viona. "Lu sendiri gimana jadinya?" celetuk Dito. "Gimana apanya", "Habis ini, lu mau lanjut kemana?" jawab Dito. Kembali Viona menghadap ke depan sambil menghela napas dalam. Ia menjawab pertanyaan Dito yang memang benar adanya, ia tidak bisa menunda lagi dan sudah harus menentukan arah pilihannya. Viona mulai jujur bahwa ia disuruh oleh orang tuanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi saja, toh dia bakalan mampu secara akademik. Selain itu juga karena kakaknya yang dulu tidak mau kuliah. Sebenarnya ia sudah tidak tertarik untuk kuliah, karena jurusan yang ia minati tidak linear dengan jurusan sekolahnya saat ini, misalpun ia memaksa dan nantinya bakal keterima pun akan menyulitkan baginya saat di tengah jalan.

"Udah, gapunya pilihan gua udah", pasrah Viona. Ia sudah lama memendam itu semua, tapi Dito malah menanyainya. Sebenarnya ia lebih tidak tega untuk menolak pilihan orang tuanya karena tidak ada yang bisa diandalkan lagi selain dirinya. Selain kakak, Viona sebenarnya masih memiliki adik balita, namun bukankah itu tidak mungkin baginya jika mengharapkan adiknya yang nanti bakalan lanjut ke perguruan tinggi, sedangkan umur orang tuanya sudah tidak muda lagi. Akhirnya dengan perasaan terpaksa ia harus menuruti keinginan orang tuanya untuk yang kesekian kalinya.

***

Tiba hari dimana pengumuman masuk perguruan tinggi tiba, Viona dengan sengaja pergi keluar tanpa membawa ponselnya. Ia duduk diatas rerumputan di pinggir sawah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia tidak akan pernah sanggup melihat hasil pengumuman karena jika tidak lolos ia masih harus berjuang lagi namun jika lolos itu merupakan mimpi buruknya di sore hari. Viona duduk seorang diri termenung sambil menata hati untuk menghadapi kenyataan setelah melihat hasil pengumuman yang akan ia diterimanya nanti.

Mentari semakin menjauh ke ujung barat dan keberadaannya sudah tinggal setengah. Viona dengan segera bangkit untuk kembali ke rumah. Sesampainya di rumah ia membuka ponselnya dan,,, sudah puluhan chat yang masuk ke ponselnya. Isi chatnya hampir sama semua, yap kalian tau itu adalah ucapan selamat karena ia lolos masuk perguruan tinggi yang ia pilih dengan jurusan yang menurutnya sesuai juga dan linear di bidang IPA.

Sontak ia terduduk di tepian ranjang. Ia bukannya membalas ucapan tersebut namun menggulir bilah ponselnya kebagian notes. Disana ia menuliskan "Jika ini adalah yang Engkau gariskan padaku Tuhan, maka aku percaya bahwa ini adalah jalan yang terbaik bagiku" setelah itu ia menutup kembali ponselnya.  

Semua anggota keluarga telah berkumpul di ruang tengah. Viona dengan wajah yang santai menghampiri mereka dan menyampaikan kabar bahwa ia diterima masuk ke perguruan tinggi negeri. Semua yang ada disana mengucapkan syukur dan terlihat dari wajahnya tergambar dengan jelas kebahagiaan yang besar. Berbeda dengan Viona yang hanya bisa menanggapi dengan senyum terpaksa yang ia buat. Setelah itu ia kembali ke kamarnya lagi.

***

Sudah memasuki hari-hari masuk kuliah, Viona sudah mencoba menerima dan enjoy dengan kehidupannya saat ini, meskipun tak jarang ia menghubungi sahabatnya yang lain kalau belum bisa menerima kenyataan ia harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Akan tetapi, semua temannya selalu menanggapi dengan sikap yang positif agar Viona tidak terus larut dalam penyesalan yang dalam. Hingga tiba pada suatu hari, Viona merasa capek dengan segala urusan di kuliahnya, awalnya ia hanya bisa memendam perasaannya sendiri dengan menangis di kamar kos. Namun, lama kelamaan ia menjadi tidak kuat, ia memutuskan untuk pulang saat weekend.

Sesampainya di rumah ia bertemu dengan ibunya dan menangis lalu mengatakan bahwa ia ingiin untuk tidak melanjutkan kuliahnya lagi. Namun respon ibunya sangat di luar dugaan. Ibu Viona marah besar terhadapnya, menolak keputusan Viona dan memaksanya untuk tetap melanjutkan kuliahnya bagaimanapun keadaannya. Ibunya sama sekali tidak mau mendengar apapun tentang keluh kesah dan keresahan hati Viona, dengan raut wajah marah, ibunya langsung pergi meninggalkan Viona yang saat itu terduduk di ruang tengah. Viona semakin menangis tersedu-sedu karena tidak ada seorangpun yang mengerti perasaannya. Begitupun dengan sikap kakaknya yang menambah dukungan untuk ia harus kuliah.

Viona menuju ke kamarnya ia mengunci pintu kamar dan melanjutkan menangis. Ia hanya bisa memeluk lukanya sendiri, bahkan orang yang paling mengertinya yaitu orang tua dan saudaranya pun tidak pernah mau mendengarkan isi hatinya dan kemauannya.

Viona : "Tuhan kenapa begitu terjal jalan yang kau tunjukkan padaku?" ia berbicara dengan sesenggukan.

Viona memilih untuk tidur demi menenangkan pikirannya yang kalang kabut. Tujuan kepulangannya ingin mengadu namun ternyata ia hanya membuat ibunya marah. Di dalam kamar Viona hanya bisa menangis tanpa memperdulikan apapun, tugas kuliah pun ia biarkan. Ia terus menangis sampai tertidur.

Pagi hari ia bangun dengan kepala yang berat namun tetap ia paksakan untuk beranjak dari ranjang. Hari ini ia memutuskan untuk kembali ke kos, karena di rumah pun tidak menyelesaikan masalahnya. Setelah bersiap ia menemui ibunya untuk berpamitan, namun ibunya tetap pada sikap yang sama tidak berbicara sepatah kata pun. Kemudian ia menemui ayahnya di belakang rumah. Saat Viona mengulurkan tangan kemudian ayahnya membuka suara "Kamu masih betah apa ndak sama kuliahmu", tanpa menjawab apapun air mata Viona langsung jatuh tanpa aba-aba. Ia kembali menangis dengan kepala di pangkuan ayahnya. "Vi usahain ya yah, ayah doa'in Vi semoga bisa sampai tamat kuliahnya" Viona menjawab dengan napas tersenggal-senggal. "Kalau memang kamu udah ngga sanggup yaudah gausah di terusin, cari apa yang kau inginkan, nak" ayahnya berkata sambil mengelus lembut kepala Viona. Sontak Viona menggelengkan kepalanya, karena ia tau betul, walaupun ayahnya mengizinkan untuk cabut kuliah, ibunya tidak akan pernah ridho dengan keputusan itu. Hal tersebut akan semakin menyulitkannya di masa depan.

"Aku pamit dulu ya yah" Viona mengambil tangan ayahnya kemudian menyalaminya. Ia langsung melesat dengan motornya kembali ke kos lagi.

***

Viona tidak langsung menuju kos, namun ia menemui Dito terlebih dahulu. Hanya sekedar menenangkan hatinya, toh Dito tidak bisa diajak diskusi serius. Namun, bagi Viona, Dito adalah satu-satunya teman yang bisa membuatnya tersenyum kembali meski seberat apapun beban hatinya. Selain itu juga Dito pendengar yang baik, tidak pernah menjudge setiap apapun yang diungkapkan Viona. Mereka berdua sangat klop saat bersama, dengan karakter keras Viona namun selalu memberi solusi atas keluh kesah Dito dan Viona juga tipe orang yang smart baik dalam hal akademik maupun emosional, sedangkan Dito memiliki karakter cerdas, lembut, tenang, dan suka membuat candaan ringan.  

***

11 bulan sudah, sejak kejadian Viona pulang ke rumah. Ia sudah merasa lebih baik dari sebelumnya dan menjalani hari-hari seperti biasanya. Ia mencoba untuk tetap fun menjalani kehidupan dengan mengikuti beberapa kegiatan kampus agar melupakan masalah perasaannya. Ia mengikuti banyak kegiatan baik di dalam maupun di luar kampus untuk menambah prestasi dan juga relasi. Lama kelamaan ia telah mengubah mindset tentang kuliah dan menambah banyak teman-teman baru di kampus, sehingga kehidupan kuliahnya menjadi lebih berwarna. Akan tetapi, pertemanannya dengan Dito harus berakhir asing, karena semenjak mereka berpisah dan beda perguruan tinggi, Dito semakin susah dihubungi dan sudah tidak pernah berkabar lagi.

-Askara Perdwita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun