Oleh: Mukhtar Habib
Kembali berdiri pada seisi hati
Melayang pada dimensi jutaan warnaÂ
Tergagas dan terlatih dalam satu ruang harianÂ
Di sana Dia bukanlah aktor dalam impian para putri
Firasat selusuh mimpi yang mustahil bagi ku
Anatomi kepala ku berkata begitu, namun tidak hati ku
Hampir saja separuh jiwanya terbelah dua
Terdiagnosa mati sebelah, satu mawar dan satunya lagi melati
Sering pendengaran ku sering kaburÂ
Namun angin itu kembali menjelaskan
Bisikan 2 kata yang sama dengan makna yang berbeda jua
Sebising itu kah suasananya, memutar notasi dengan birama tak berketuk  Â
"Mega Ruang Dimensi" itu memaksanya untuk mengatakan kepada seluruh alam
Ini bukan meta tuan, sekali lagi ku katakan ini bukan meta
Mendalam alurnya tapi bukan seperti kisah  Jendral Tian Feng
"Deritanya  tiada akhir" kata pemeran itu di dalam serial Kera Sakti
Di Mega Ruang Dimensi ceritanya berbeda TuanÂ
Laksana teruna tertusuk sebilah pisauÂ
Dibelah, dibedah isi hatinyaÂ
Serasa sadis tapi bermakna seperti kata-kata sang pujangga itu, "Belah dada ku"
Ruang itu bagai taman ku, tempat mengekspresikan hatiÂ
Merajuki anomali realitas cinta dari rasa suka atau candaan
Laku ku masih tenang, seperti air yang tergenang di danau luas
Dia selalu menertawai harapan, perihal mampunya belum sampaiÂ
Dia tahu itu, tapi tak segalanya tahu tuan putri
Kalau kepincut, tak perlu melihat dari kejauhan seperti hantu
Tanpa harus sembunyi dalam ruang
Tapi nantilah dia semoga Ar-Rahman berkenan di sana
Medan, 5 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H