Oleh: Mukhtar Habib
Saat malam itu berisik sekali
Bisik-bisik kias penuh langgam judes
Terdengar ironi lisan ilustrasi dari kisah yang belum terungkap
Di sisi kiri itu pulalah, pena itu jadi mulutnya
Di sana dia menuangkan bait-bait romansaÂ
Bahkan jika emosionalnya sampai ke titik jenuh
Keluar sajak-sajak extravaganza mewakili perasaannya
Ekspresi sakti tergaris tinta menceritakan segalanya
Tersurat satire di kepalanya ledakkan dunia alam bawah sadar
Suasana  hatinya terbakar amarah
Tertiup perlahan lalu ia tuliskan di lembar baru
Pena sendu ia terus menemaninya
Iya..., "Pena Sendu" mungkin istilahnya
Pena itu selalu menemaninya saatnya gundah maupun senang
Bagai air mata, tintanya jatuh ke ujung pena
Huruf demi huruf, kata demi kata mengukir sajak yang indah
Nelangsa cinta berbekal kehidupan warna polos apa adanya
Bukan pelangi yang memiliki keindahan warna di langit biru
Bumi pun tak sepadan dengan ituÂ
Namun semesta ini sudah begitu, selalu melukis canda dan tawa dengan lembar putihÂ
Deli Serdang, 1 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H