Tampak di permukaan, Parpol berlabel "Islam" seakan mengusung kepemimpinan sesuai ketentuan QS. Al-Maidah [5]:51: Artinya: "Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (lihat, Al-Qur'an dan Terjemah, Departemen Agama).
Ayat di ataslah pada awalnya yang dijadikan "pamungkas" untuk membungkam posisi "AHOK" sebagai Petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, dengan latar belakang etnis "China/Tionghoa" dan beragama "Kristen Protestan" yang taat, berpasangan dengan Djarot Saifullah berlatar belakang etnis "Jawa" dan beragama "Islam" yang taat.
Posisi "AHOK" sebagai "kristiani" di atas pasti tidak mungkin didukung oleh warga DKI Jakarta beragama "Islam", karena kalau ada mendukung berarti "dia" termasuk golongan "Yahudi dan Nasrani". Demikian "kira-kira" paham yang dilontarkan sebagian warga yang tidak suka dengan AHOK.
Langkah saya tidak berhenti di situ, lalu tiba-tiba muncul pertanyaan dalam diri saya: benarkah pandangan demikan itu, semata-mata menegakkan ayat-ayat Al-Qur'an? Lalu, saya membuka beberapa website Parpol yang beridentitaskan "Islam" dan ternyata saya menemukan ada Parpol yang mengusung Pasangan Calon (Paslo) Pilkada, seperti pada Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 lalu, ternyata ada Parpol yang beridentitaskan Islam itu mengusung/mencalonkan beberapa Paslon berlatarbelakang agama "Kristen" berpasangan dengan yang berlatar belakang "Muslim".
Pertanyaannya kemudian, mana komitmen tentang konsep menegakkan ajaran "Islam" yang selama ini mereka usung dan suarakan itu?
Alih-alih dalam diskusi lepas, terlontar pernyataan secara tertulis di WA simpatisan Parpol Islam itu menyatakan kepada saya, bahwa "... kalo mengusung non Muslim di wilayah tertentu karena itu menghargai kearifan lokal...". Kalau komitmen atau bahasa mereka "istiqamah" dengan ajaran QS. Al-Maidah [5]:51 di atas tidak seharusnya bahkan tidak pantas terlontar statemen seperti itu, karena secara tekstual terjemahan QS. Al-Maidah [5]:51 dalam bahasa Indonesia itu tidak memberikan adanya "isyarat atau celah" sedikitpun untuk mendukung orang Yahudi dan Kristen, karena faktor mayoritas-minoritas atau faktor local wisdom/local genius, bukankah Islam di Indonesia adalah umat Islam terbesar di dunia dan mayoritas di Indonesia? Lucunya lagi, data menunjukkan, bahwa Parpol tersebut mencalonkan pada Pilkada Bupati di salah satu kabupaten di Sumatera Utara (di Prov. Sumut, Islam masih mayoritas) dengan pasangan Cabup-nya beragama "Kristen" dan Cawabup beragama "Islam". Hal ini dapat diamati dari identitas pribadi para sang calon dimaksud.
Kita harus akui, suka tidak suka, sebagai warga negara Indonesia, sistem Pemilu/Pilkada diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No. 10 Tahun 2016), bahwa yang bisa ikut sebagai peserta Pemilu/PILKADA ada 2 (dua) jalur, yaitu: "independen" atau dukungan "Partai Politik".
Lebih serunya lagi, setelah AHOK menyatakan ikut PILKADA lewat dukungan Parpol pengusungnya, yaitu: Nasdem, Hanura, dan Golkar. Di mana pada awalnya, AHOK memilih jalur "independen" dengan dukungan KTP warga DKI Jakarta yang melampaui jumlah persyaratan yang ditetapkan KPU DKI Jakarta (7,5%) sebanyak 1.024.632 buah KTP. Kemudian pada detik-detik terakhir dimulainya pendaftaran di KPU DKI Jakarta, PDIP pun juga ikut mencalonkan, menentukan, dan mendeklarasikan pasangan AHOK-DJAROT, yang kemudian ikut diamini oleh Parpol pengusungnya yang lebih awal, yaitu: Nasdem, Hanura, dan Golkar. Mereka berduyung-duyung ikut hadiri dan menyaksikan pendaftaran pasangan calon, yaitu: Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M. sebagai Calon Gubernur (Cagub) berpasangan dengan Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.Si sebagai Calon Wakil Gubernur (Cawagub) di KPU DKI Jakarta, yang kemudian lebih populer disebut pasangan AHOK-DJAROT. Saat ini, keduanya masih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Parpol lain pun tidak diam, mereka bangkit dan keluar dari sarang pikirannya masing-masing untuk menentukan dan mengambil sikap, maka lahirlah "pesaing" AHOK-DJAROT, mulai dari Partai Gerindra dan PKS mendeklarasikan pasangan "Anies Baswedan, Ph.D (mantan Mendikbud yang direshuffle Presiden Jokowi/mantan Rektor Universitas Paramadina yang didirikan oleh almarhum Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur)-yang banyak dikecam oleh "kaum fundamentalis Islam-" karena pikiran liberalismenya) berpasangan dengan Sandiago S. Salahudin, MBA (pengusaha terkaya peringkat ke-37 di Indonesia dan anggota P. Gerindra), yang awalnya dicalonkan sebagai gubernur". Kemudian langkah berikutnya diikuti oleh Partai Demokrat, PPP, PKB, PAN ikut pula menentukan calonnya, yaitu: Mayor Agus Harimurti Yudhoyono,M.Sc., MPA., M.A (Anak pertama SBY yang pensiun dini dari TNI dengan pangkat terakhir Mayor Infanteri) berpasangan dengan Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, S.H., M.Si (Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, 2015-2016/bawahan Ahok-Djarot). Kedua Paslon di atas semuanya beragama "Islam" dengan latar belakang etnis yang berbeda, Anies berasal dari suku Sunda-Arab, Sandiaga berdarah Gorontalo dan Agus-Sylviana beretnis Jawa-Betawi.
Harus diingat, bahwa Parpol Gerindra, PDIP, PKS, PKB, PPP, dan PAN awalnya mengusung konsep koalisi "kekeluargaan", tapi pecah berantakan sebelum adonan masak di wajan. PDIP menarik diri dari "koalisi kekeluargaan" itu, kemudian tiba-tiba Gerindra-PKS mencalonkan Sandiago S. Uno dengan Mardani Ali Sera sebagai Cagub dan Cawagub DKI Jakarta. PKB pun beram dan menarik diri, karena menilai bahwa langkah Gerindra-PKS tersebut "tiba-tiba" ada "tanpa ajakan konsultasi" sebelumnya.
Lagi-lagi saya sebagai calon pemilih kembali bertanya, benarkah Anda (Parpol) dengan dilandasi niat ikhlas dan jujur di atas kepentingan Parpol dan warga DKI Jakarta mengusung pasangan dari latar belakang "ISLAM" atau hanya sekadar "lucu-lucuan saja? Karena ketika pasangan tersebut bukan berasal dari kalangan Parpol Anda, begitu cepatnya bubar.
Lalu berlatarbelakang identitas "ISLAM" seperti apa yang sesungguhnya Anda (Paprol) maksudkan itu? Bukankah dari dulu hingga detik ini, umat Islam Indonesia telah diwarnai oleh "perbedaan paham (fiqih)" dalam bentuk warna "mazhab" antara Sunni vs Sunni dan antara Sunni vs Syiah. Tapi di awal abad 21 ini, mazhab sudah mulai ditinggalkan dan perseteruannya mulai redup, kemudian segera digantikan oleh perbedaan "aliran" keislaman yang bermacam-macam ragamnya, mulai dari model 'Islam' ala Arabisasi, ala Kemajuan, ala Nusantara, ala Liberal, dan sebagainya, termasuk di dalamya masih ada ala sekte-sekte Islam, seperti Syiah, Khalwatiyah, Jamaah Tabligh, Ahmadiyah, dan sebagainya.
"Fakta" menunjukkan, bahwa Parpol berlatarbelakang "Islam" pengusung pasangan calon Pilkada termasuk Pilpres, belum tentu dapat didukung oleh Parpol yang berlatarbelakang Islam yang sama, karena "kemungkinan" faktor mazhab, aliran, atau sekte keislaman itu "dan inilah masalahnya" kita umat Islam di Indonesia, amat sangat susah menyatukan visi dan misi kalau tidak sehaluan dalam pergerakan keislaman yang sama. Lalu, sudah menjadi nyatakah pandangan Prof. Nurcholish Madjid (almarhum) "bos" Anies Baswedan di Universitas Paramadina, bahwa "Islam Yes, Partai Islam No"???
Parpol berlatarbelakang Islam perlu "muhasabah" atau mungkin dapat diartikan "berbenah diri", kalau mau didukung atau kalau tidak mau ditinggalkan oleh umat Islam Indonesia sendiri.
Permasalahan Parpol Islam di Indonesia akan kita uji lagi, sejauhmana "daya dukung" dari umat Islam di seluruh Indonesia melalui Pilkada serentak tahun 2017, apakah betul-betul komitmen atau istiqamah keimanannya dengan ajaran QS. Al-Maidah [5]:51 di atas atau Firman Allah SWT. tersebut masih bisa ditafsirkan dengan konsep "toleransi" di Indonesia yang menganut asas "kemajemukan" berasaskan Pancasila?
Kalau ini terjadi, maka pada Pemilihan Umum (Pemilu) berikutnya, Parpol mana pun terutama berlatarbelakang agama "penting evaluasi diri" untuk tidak mengusung lagi dalil-dalil atas nama "Firman Allah atau Tuhan", karena bisa saja Anda telah menyandera Allah atau Tuhan melalui firman-firman-Nya demi atas paragmatisme kepentingan politik Anda yang sesaat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H