Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal
Muhamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Kepala Biro Perencanaan Kementerian Agama

Membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Parpol Beridentitaskan "Islam" Menjalankan Qs. Al-Maidah [5]:51 di Indonesia?

13 Oktober 2016   10:55 Diperbarui: 13 Oktober 2016   11:14 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tampak di permukaan, Parpol berlabel "Islam" seakan mengusung kepemimpinan sesuai ketentuan QS. Al-Maidah [5]:51: Artinya: "Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (lihat, Al-Qur'an dan Terjemah, Departemen Agama).

Ayat di ataslah pada awalnya yang dijadikan "pamungkas" untuk membungkam posisi "AHOK" sebagai Petahana yang kembali mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022, dengan latar belakang etnis "China/Tionghoa" dan beragama "Kristen Protestan" yang taat, berpasangan dengan Djarot Saifullah berlatar belakang etnis "Jawa" dan beragama "Islam" yang taat.

Posisi "AHOK" sebagai "kristiani" di atas pasti tidak mungkin didukung oleh warga DKI Jakarta beragama "Islam", karena kalau ada mendukung berarti "dia" termasuk golongan "Yahudi dan Nasrani". Demikian "kira-kira" paham yang dilontarkan sebagian warga yang tidak suka dengan AHOK.

Langkah saya tidak berhenti di situ, lalu tiba-tiba muncul pertanyaan dalam diri saya: benarkah pandangan demikan itu, semata-mata menegakkan ayat-ayat Al-Qur'an? Lalu, saya membuka beberapa website Parpol yang beridentitaskan "Islam" dan ternyata saya menemukan ada Parpol yang mengusung Pasangan Calon (Paslo) Pilkada, seperti pada Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 lalu, ternyata ada Parpol yang beridentitaskan Islam itu mengusung/mencalonkan beberapa Paslon berlatarbelakang agama "Kristen" berpasangan dengan yang berlatar belakang "Muslim".

Pertanyaannya kemudian, mana komitmen tentang konsep menegakkan ajaran "Islam" yang selama ini mereka usung dan suarakan itu?

Alih-alih dalam diskusi lepas, terlontar pernyataan secara tertulis di WA simpatisan Parpol Islam itu menyatakan kepada saya, bahwa "... kalo mengusung non Muslim di wilayah tertentu karena itu menghargai kearifan lokal...". Kalau komitmen atau bahasa mereka "istiqamah" dengan ajaran QS. Al-Maidah [5]:51 di atas tidak seharusnya bahkan tidak pantas terlontar statemen seperti itu, karena secara tekstual terjemahan QS. Al-Maidah [5]:51 dalam bahasa Indonesia itu tidak memberikan adanya "isyarat atau celah" sedikitpun untuk mendukung orang Yahudi dan Kristen, karena faktor mayoritas-minoritas atau faktor local wisdom/local genius, bukankah Islam di Indonesia adalah umat Islam terbesar di dunia dan mayoritas di Indonesia? Lucunya lagi, data menunjukkan, bahwa Parpol tersebut mencalonkan pada Pilkada Bupati di salah satu kabupaten di Sumatera Utara (di Prov. Sumut, Islam masih mayoritas) dengan pasangan Cabup-nya beragama "Kristen" dan Cawabup beragama "Islam". Hal ini dapat diamati dari identitas pribadi para sang calon dimaksud.

Kita harus akui, suka tidak suka, sebagai warga negara Indonesia, sistem Pemilu/Pilkada diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No. 10 Tahun 2016), bahwa yang bisa ikut sebagai peserta Pemilu/PILKADA ada 2 (dua) jalur, yaitu: "independen" atau dukungan "Partai Politik".

Lebih serunya lagi, setelah AHOK menyatakan ikut PILKADA lewat dukungan Parpol pengusungnya, yaitu: Nasdem, Hanura, dan Golkar. Di mana pada awalnya, AHOK memilih jalur "independen" dengan dukungan KTP warga DKI Jakarta yang melampaui jumlah persyaratan yang ditetapkan KPU DKI Jakarta (7,5%) sebanyak 1.024.632 buah KTP. Kemudian pada detik-detik terakhir dimulainya pendaftaran di KPU DKI Jakarta, PDIP pun juga ikut mencalonkan, menentukan, dan mendeklarasikan pasangan AHOK-DJAROT, yang kemudian ikut diamini oleh Parpol pengusungnya yang lebih awal, yaitu: Nasdem, Hanura, dan Golkar. Mereka berduyung-duyung ikut hadiri dan menyaksikan pendaftaran pasangan calon, yaitu: Ir. Basuki Tjahaja Purnama, M.M. sebagai Calon Gubernur (Cagub) berpasangan dengan Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.Si sebagai Calon Wakil Gubernur (Cawagub) di KPU DKI Jakarta, yang kemudian lebih populer disebut pasangan AHOK-DJAROT. Saat ini, keduanya masih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Parpol lain pun tidak diam, mereka bangkit dan keluar dari sarang pikirannya masing-masing untuk menentukan dan mengambil sikap, maka lahirlah "pesaing" AHOK-DJAROT, mulai dari Partai Gerindra dan PKS mendeklarasikan pasangan "Anies Baswedan, Ph.D (mantan Mendikbud yang direshuffle Presiden Jokowi/mantan Rektor Universitas Paramadina yang didirikan oleh almarhum Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur)-yang banyak dikecam oleh "kaum fundamentalis Islam-" karena pikiran liberalismenya) berpasangan dengan Sandiago S. Salahudin, MBA (pengusaha terkaya peringkat ke-37 di Indonesia dan anggota P. Gerindra), yang awalnya dicalonkan sebagai gubernur". Kemudian langkah berikutnya diikuti oleh Partai Demokrat, PPP, PKB, PAN ikut pula menentukan calonnya, yaitu: Mayor Agus Harimurti Yudhoyono,M.Sc., MPA., M.A (Anak pertama SBY yang pensiun dini dari TNI dengan pangkat terakhir Mayor Infanteri) berpasangan dengan Prof. Dr. Hj. Sylviana Murni, S.H., M.Si (Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pariwisata dan Kebudayaan, 2015-2016/bawahan Ahok-Djarot). Kedua Paslon di atas semuanya beragama "Islam" dengan latar belakang etnis yang berbeda, Anies berasal dari suku Sunda-Arab, Sandiaga berdarah Gorontalo dan Agus-Sylviana beretnis Jawa-Betawi.

Harus diingat, bahwa Parpol Gerindra, PDIP, PKS, PKB, PPP, dan PAN awalnya mengusung konsep koalisi "kekeluargaan", tapi pecah berantakan sebelum adonan masak di wajan. PDIP menarik diri dari "koalisi kekeluargaan" itu, kemudian tiba-tiba Gerindra-PKS mencalonkan Sandiago S. Uno dengan Mardani Ali Sera sebagai Cagub dan Cawagub DKI Jakarta. PKB pun beram dan menarik diri, karena menilai bahwa langkah Gerindra-PKS tersebut "tiba-tiba" ada "tanpa ajakan konsultasi" sebelumnya.

Lagi-lagi saya sebagai calon pemilih kembali bertanya, benarkah Anda (Parpol) dengan dilandasi niat ikhlas dan jujur di atas kepentingan Parpol dan warga DKI Jakarta mengusung pasangan dari latar belakang "ISLAM" atau hanya sekadar "lucu-lucuan saja? Karena ketika pasangan tersebut bukan berasal dari kalangan Parpol Anda, begitu cepatnya bubar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun