Tentu saja, kita bendak kaluar dari kerumitan ini, membebaskan identitas-identitas yang ada sebagai sumberdaya mobilisasi politik idenitas. Soalnya, bagaimana kita memungkinkan untuk membangun kategorisasi identitas tidak semata-mata polarisasi idenitas sosial dan identitas politik, yang secara inheren mengandung potensi untuk dihancurkan sebagai korban bagi kepentingan-kepentingan politik identitas yang juga ada di dalamnya.
Setidaknya kita kita hendak membangun mekanisme 'perlawanan' terhadap hegemoni kekuasaan melalui mekanisme perjuangan identitas. Penguatan budaya resistensi. Nalarnya, perjuangan identitas ini akan menjadi kuat karena ia akan menjadi pijakan bagi terbangunnya tindakan kolektif. Karena identitas seseorang memang tidak terlepas dari kesadaran kolektivitas. Melalui identitas ini, seseorang merasa memiliki dan berbagi dengan lainnya. Soalnya, ketika terjadi formulasi keperbedaan dengan identitas yang lain (the others), tidak memunculkan pemaksaan-pemaksaan.
Seluruh proses dekonstruski kultural dan rekonstruksinya, sejak awal harus menggunakan perspektif jender, seksualitas dan HAM [P], sehingga akan menjamin sistem sosial baru yang dilahirkan menjadi adil bagi semua.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H