Kedua, meneguhkan kembali komitmen awal, subyek perubahan sosial adalah rakyat kebanyakan itu sendiri. Komunitas Eben Ezer, misalnya, sebuah komunitas kaum miskin kota yang bekerja di sekitar kawasan stasiun kereta api lempuyangan, mereka mampu melakukan tuntutan terhadap layanan kesehatan dasarnya, tanpa harus diperjuangkan sebuah NGO tertentu. Kehadiran NGO semata-mata lebih bersifat asistensi nalar dan teknis kerja-kerja mereka, selebihnya mereka melakukannya sendiri. Walhasil, saat ini mereka sudah memegang kartu asuransi Jamkesmas (?) berbasis personal, yang berlaku secara nasional. Mereka juga mampu melakukan negosiasi anggaran untuk mengembangkan usaha-usaha produktif, yang tidak saja akan berguna bagi situasi darurat, tetapi terlebih lagi untuk saling membantu sesama.
Ketiga, memastikan posisi perjuangannya pada ruang gerakan atau perjuangan identitas. Pengalaman menunjukkan berbagai persoalan yang dihadapi komunitas mitra strategis PKBI sesungguhnya berakar pada pengabaian identitas mereka dalam kehidupan sosial-keseharian. Perjuangan idenitas akan mampu membangun solidaritas dan tindakan strategis secara kolektif lainnya dalam menuntut pemenuhan hak reproduksi dan seksual. Penolakan terhadap orientasi seksual sesama jenis, sesungguhnya sedang menunjukkan adanya pengabaian identitas homoseksual oleh mereka yang berorientasi heteroseksual. Dengan demikian, perjuangan identitas dalam kerangka ini, tidaklah cukup pada nalar identitas sosial dan politik, sebagaimana seringkali didiskusikan selama ini. Ia menjadi lebih luas dan lebih kompleks gerakannya.
Ancang-ancang
Tiga rumusan pendek dan sederhana, bahkan mungkinn juga sesuatu yang tidak baru sama sekali--hanya mungkin sedikit mengagetkan barangkali--ketika jawaban yang diambil adalah mencoba memasuki wacana multikulturalisme, sebuah medan mainstream yang di dalamnya, justru mengabaikan adanya identitas-identitas baru. Kajian-kajian multikulturalisme di Indonesia, misalnya, sebagian besarnya masih berkutat pada nalar mayoritas dan minoritas, baik suku, agama, maupun etnik di seantero nusantara ini.
Pada sisi lain, hendak dibangun blok sosial baru yang akan menjalankan kerja-kerja politis sebagai bentuk dari tindakan-tindakan kolektif yang berakar pada kehendak-kehendak komunitas itu sendiri.
Kita menyadari berbagai pertarungan akan bersimpangsiuran dari pilihan yang dilakukan ini. Hanya saja, kita juga meyakini, manakala pilihan itu memang memiliki basis pengalaman yang jelas, lanjutannya akan bisa dirumuskan secara bersama-sama. Melalui forum inilah, kita hendak mencaritahu lebih banyak, bagaimana kemungkinan menurunkan kehendak-kehendak yang bagi kami hampir mirip aras imajiner, ketimbang sebuah temuan-temuan yang operasional.
Saat ini, kita sudah mulai dengan arus paling dasar yang konon katanya selalu diperjuangkan oleh siapapun, soal 'pengetahuan'. Kita meneguhkan kembali cara pandang pengetahuan ini, dengan memastikan sebagai sebuah proses yang lahir dari sekian banyak kanal-kanal informasi intersubyektif. Pengetahuan harus dijauhkan dari nalar 'otoritatif', sebuah cita-cita yang tidak sederhana untuk mewujudkannya, karena kita masih terlalu sulit untuk membedakan antara kepatuhan atas dasar kesepuhan 'seorang profesor' dan kepatuhan terhadap teori pengetahuan yang dianutnya.
Kita memimpikan, hadirnya pemilik teori di tengah-tengah pemilik pengalaman hidup, merupakan proses dialog kebudayaan intersubjektif, untuk menemukan pengetahuan baru yang menjadi milik bersama antar subjek dialog. Secara sederhana, bisa dikatakan sebagai sebuah teoritisasi pengalaman untuk menjadi pengatahuan baru, yang kepemilikannya menjadi publik. Bukan semata-mata nalar 'representasi', ketika seseorang berbicara seperti si tertindas, atau memberi suara (aneh, ya) kepada mereka yang terbungkam, seakan-akan seluruh sepak terjangnya merupakan wujud dari nalar si tertindas. Dalam konteks inilah kita akan bisa melihat adanya sebuah situasi dinamis, menyejarah dalam keseluruhan ruang dan waktu. Sebuah proses yang tidak akan mematikan ekspresi-ekpresi kultural antar subyek kultural.
Pemaknaan terhadap dialog-dialog kultural inilah, pada awalnya yang mendorong kita untuk memasuki kegelapan multikulturalisme yang kono tak juga rampung untuk menjawab persoalan-persoalan di Indonesia dan bahkan sebagiannya meragukan ketepatannya. Sebuah pemahaman yang sangat sederhana, dengan semangat multikultrualisme memungkinkan kita untuk membangun kerjasama, kesederajatan dan saling memberikan apresiasi antar subyek di tengah-tengah perkembangan sosial yang makin kompleks.
Intersubjektif, lantas kita pahami sebagai identitas-identitas kultural yang terus menerus saling berinteraksi, berdialog, bernegosiasi dengan kehendak untuk sebuah kebaikan bersama. Sebuah semangat normatif, yang kadang-kadang kita sendiri menertawakannya, tergelak-gelak, lalu coba direnungkan kembali. Ketergelakkan terhadap sebuah realitas itu sendiri, menjadi batu kritik tajam, karena bersumber dari nalar pengabaian itu sendiri.
Di sinilah identitas mulai didiskusikan secara serampangan saja. Berpijak pada apa yang kita alami dan apa yang dirasakan selama ini. Ketika kita hendak membawa identitas kultural ini tidak semata-mata identitas sosial--yang paling kuat didiskusikan soal kelas, ras, etnis dan jender [yang ini lebih pada 'role'] dan seksualitas [yang ini serius di Indonesia masih terpinggirkan]--dan identitas politik--biasanya soal nasionalisme dan kewarganegaraan]. Identitas sosial menggambarkan posisi subjek dalam relasi dan interaksi kulruralnya, sedangkan identitas politik menempatkan posisi subjek dalam suatu komunitas dan secara bersamaan menjadi penanda adanya pembedaan dengan yang lain. Pada operasi kerja inilah, kemudian melahirkan politik pengakuan, yang berkuasa melakukan hegemoni atas lainnya dan secara terus menerus memproduksi piranti-piranti pengetahuan untuk melanggengkan kuasanya. Melalui kuasa inilah mereka yang tidak memiliki 'power' akan diperangkap dalam ruang-ruang yang tidak menguntungkan.