Semalam di Cianjur (FYI itu judul lagu), senior dari UNPAD yang penuh kasih sayang memerintahkan pada saya untuk mengunjungi salah satu cafe borjuis. Saya menyebunya cafe borjuis karena sampai sekarang saya masih tak rela dengan uang dua ribu yang lapur dari tangan begitu saja. Seperti kejutan April Mop, di menunya espresso tertulis 20 ribu, tapi katanya plus pajak jadi dua ribu. Setidaknya bupati Herman sudah mampu mengangkat derajat Cianjur daripada Jogja. Yap, derajat harga espresso plus PPN-nya.
      Dari banyak perbincangan bertiga bersama kawan Kang Senior (mengikuti panggilan Budi-Ari di TotPol untuk Rocky). Ada bagian yang sangat menarik bagi saya berkaitan dengan gaya komunikasi menyindir. Awalnya percakapan berkaitan dengan bagaimana seandainya di kehidupan rumah tangga nanti melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik. Akankah dibuat dengan kesepakatan resmi dengan istri, atau biarkan saja istri mengerti melalui laku Kita.
      Salah satu dari mereka bercerita jika ia nanti akan mencukupkan dengan melakukan pekerjaan mencuci, masak, bersih-bersih, dan lainnya tanpa harus membuat kesepakatan dahulu. Perlakuan tersebut biar menjadi komunikasi isyarat yang nantinya juga ada timbal balik dari pasangan. Sambil bercanda saya menanggapi kalau komunikasi seperti itu bisa terjadi jika kedua pasangan saling mengerti. Jika tidak? Tentu salah satunya hanya akan cuek, berhamdalah, tanpa nyamperin untuk ikut kerja.
      Dari komunikasi isyarat yang tricky ini, saya jadi teringat pada "marah" para mudaris di pesantren karena santriyyin selalu berisik di masjid. Kurang lebih begini peribahasa Arab yang beliau-beliau kutip:
"orang yang berakal cukup dengan isyarat sedangkan orang yang bodoh (harus) dilempari batu"
Saking ambeknya bapak kyai di pondok, dengan gaya bahasa interogatif yang mendidik sudah sering diucapkan baik dengan nada rendah maupun nada tinggi. "Disini itu manusia atau hewan?"
      Perlu diakui memang santri zaman dahulu begitu peka terhadap isyarat-isyarat kyai. Ada dua kisah yang begitu masyhur menggambarkan kharisma para pimpinan pondok terdahulu. Pertama, (mohon izin pada keluarga pesantren yang membaca) pak KH. A. Wahab Muhsin dikenal suka menggunakan sendal bakiak untuk berangkat ke masjid. Kebetulan, zaman dahulu untuk berwudu itu harus memompa air secara manual.
      Pak kyai yang sudah terbiasa bangun untuk tahajud tentu harus berjalan terlebih dahulu untuk menuju sumur pompa. Karena sendal bakiak yang terbuat dari kayu itu bersuara cukup keras. Isyarat suara bakiak kyai menjadi alarm bagi santri untuk bersegera karena tak mau malu ketinggalan pak kyai yang sepuh tapi penuh semangat beribadah.  Kemudian cerita kedua berkaitan dengan kharisma pimpinan pondok berikutnya.
      Pak KH. Syihabuddin Muhsin yang merupakan adik pimpinan sebelumnya terkenal dengan wibawanya. Pengibaratan yang tepat mungkin seperti Umar bin Khattab yang setan pun lebih baik mencari jalan lain agar tak berpapasan. Diceritakan bahwa tanpa kata-kata, suara deheman beliau dari luar masjid sudah cukup untuk membuat suasana masjid menjadi hening dan khidmat. Tak perlu ada bahasa-bahasa langsung yang mengarahkan santri agar rapih teratur.
      Lalu, jika melihat pada redaksi Arab tadi, apakah mesti orang berakal cukup dengan isyarat. Sedangkan orang bodoh tidak mengerti isyarat-isyarat kemudian memerlukan bahasa-bahasa langsung?
      Agaknya, jika melihat pada fenomena sederhana orang pacaran yang saling lempar kode. Hidup dengan bahasa isyarat itu merepotkan. Ingin ini itu harus membelokkan terlebih dahulu pada makna tak sebenarnya. Kalau orang pacaran diem-dieman dulu, marah-marahan dulu, baru saling rindu. Apa seperti itu yang dinamakan orang berakal? Bukankah lebih mudah jika langsung saja menjelaskan maksud di awal tanpa berkelok-kelok tak jelas?
      Bantahannya mungkin yang menyampaikan harus bisa memberikan isyarat dengan cermat. Karena melihat pada teori komunikasi yang melibatkan komunikan, informasi, dan komunikator. Tapi bagaimana dengan latar sosial (meski tidak pasti) layaknya orang batak yang terbiasa dengan to the point sedangkan orang Sunda yang terbiasa sindir lampah (basa-basi) terlebih dahulu? Atau orang Kota yang juga to the point untuk menjaga efisiensi dan orang desa yang berbasa-basi untuk menjaga kekeluargaan?
      Maka, yang ingin saya sampaikan disini ialah tidak adanya mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah dalam gaya berkomunikasi. Semua memiliki seninya masing-masing. Jika tidak ada basa-basi maka tak akan ada lagi keindahan syair-syair para pujangga. Jika terlalu banyak pendekatan, bayangkan berapa lembar kertas yang dihabiskan untuk menyampaikan pesan. Berapa lama waktu dan energi yang dibutuhkan untuk sekedar mau pipis.
      Karena itu, salah satu gramatika Arab yang berkaitan dengan gaya bahasa yakni Ilmu Balaghah. Ia mengajarkan bahwa keelokan bahasa bukan pada panjangnya sya'ir yang dilantunkan, kesesuaian rima yang dituliskan, tapi sampainya pesan pada hati para pendengar. Mengenai bahasa langsung (to the point) dan tak langsung (sisindiran) ini mungkin ada pengibaratan yang bijak seperti berikut:
"Kesederhanaan bahasa indah untuk menunjukkan kecukupan, sedangkan kemewahan bahasa indah untuk menunjukkan keanggunan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H