Agaknya, jika melihat pada fenomena sederhana orang pacaran yang saling lempar kode. Hidup dengan bahasa isyarat itu merepotkan. Ingin ini itu harus membelokkan terlebih dahulu pada makna tak sebenarnya. Kalau orang pacaran diem-dieman dulu, marah-marahan dulu, baru saling rindu. Apa seperti itu yang dinamakan orang berakal? Bukankah lebih mudah jika langsung saja menjelaskan maksud di awal tanpa berkelok-kelok tak jelas?
      Bantahannya mungkin yang menyampaikan harus bisa memberikan isyarat dengan cermat. Karena melihat pada teori komunikasi yang melibatkan komunikan, informasi, dan komunikator. Tapi bagaimana dengan latar sosial (meski tidak pasti) layaknya orang batak yang terbiasa dengan to the point sedangkan orang Sunda yang terbiasa sindir lampah (basa-basi) terlebih dahulu? Atau orang Kota yang juga to the point untuk menjaga efisiensi dan orang desa yang berbasa-basi untuk menjaga kekeluargaan?
      Maka, yang ingin saya sampaikan disini ialah tidak adanya mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah dalam gaya berkomunikasi. Semua memiliki seninya masing-masing. Jika tidak ada basa-basi maka tak akan ada lagi keindahan syair-syair para pujangga. Jika terlalu banyak pendekatan, bayangkan berapa lembar kertas yang dihabiskan untuk menyampaikan pesan. Berapa lama waktu dan energi yang dibutuhkan untuk sekedar mau pipis.
      Karena itu, salah satu gramatika Arab yang berkaitan dengan gaya bahasa yakni Ilmu Balaghah. Ia mengajarkan bahwa keelokan bahasa bukan pada panjangnya sya'ir yang dilantunkan, kesesuaian rima yang dituliskan, tapi sampainya pesan pada hati para pendengar. Mengenai bahasa langsung (to the point) dan tak langsung (sisindiran) ini mungkin ada pengibaratan yang bijak seperti berikut:
"Kesederhanaan bahasa indah untuk menunjukkan kecukupan, sedangkan kemewahan bahasa indah untuk menunjukkan keanggunan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H