Akhir-akhir ini lagi rame soal kampanye politik di kampus. Ada yang Pro, ada juga yang kontra. Mungkin yang Pro memiliki argumen bahwa kampus menjadi tempat yang ideal untuk kampanye dalam hal menguji si calon. Bagi yang kontra, mungkin berpikir dunia pendidikan dalam hal ini kampus jangan direcoki oleh politik yang seringkali menurut mereka mengganggu kondusifitas belajar.
Terlepas dari isu itu, ada beberapa cerita menarik mengenai kampanye politik di pesantren. Pesantren Islam tentunya, karena di seminari mungkin masanya tidak terlalu banyak, hehehe. Terkhusus pesantren NU (karena saya hanya mengalami di sana). Selalu menjadi tempat sowan tokoh politik, entah itu meminta apa. Setidaknya meminta do'a. Ini menunjukkan setidaknya bahwa si calon masih percaya do'a kalau tidak dapat dukungan.
Ada beragam ekspresi kampanye yang digunakan para tokoh untuk bersentuhan dengan dunia pesantren. Paling minimal ialah sowan ke rumah kyai. Lainnya, ada yang bagi-bagi bingkisan, ada juga yang bagi-bagi janji. Tapi ada juga kok yang berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Bagi saya yang tidak terlalu paham ilmu politik, baik politik sebagai kebijakan maupun politik praktis ataupun elektoral. Ketika mendengar kampanye, otak selalu merespons dengan frame negatif. Oleh karena itu, paling tidak dalam tulisan ini saya mencari sisi-sisi unik, menarik, dan "oh begitu ya"-nya saja dari yang namanya kampanye.
Kalau kampus, secara fenomena sepertinya memang sudah lama, tapi untuk terang-terangan tidak begitu kali ya. Muhammadiyah yang ngga kentel-kentel amat dari segi politik praktis, ternyata ada juga sowan-sowannya. Nanti lebih lanjut saya ceritakan. Adapun pesantren dalam artian pesantren NU sepertinya sudah tidak aneh, hehe.
Pengalaman pertama saya menyaksikan secara langsung pesantren menjadi medan kampanye ialah saat Mahfud MD datang ke pondok. Meskipun sebelum masuk ke pondok pun Saya sudah sering melihat tokoh seperti Ahmad Heryawan yang kala itu Gubernur Jabar. Tapi untuk ini benar-benar menyaksikan secara langsung.
Kurang lebih tahun 2014 saat itu, saya masih menginjak kelas 2 MTs. Kedatangan pak Mahfud dengan sambutan baliho "selamat datang capres 2014" disambut dumelan dalam hati "apaan sih ini orang". Kan santri belum punya hak pilih yak? Pikir saya saat itu.
Tapi ada serpihan yang sangat membekas dari peristiwa itu. Yakni jokes receh dari bapak pimpinan ponpes yang sederhana tapi lucu. Seperti biasa, saat kedatangan tamu dari luar, lembaga manapun memperlihatkan profil lembaganya sendiri dong. Pada saat ada bagian pak Kyai memperlihatkan foto bersama para dewan guru. Pak Kyai nyeletuk, "tenang pak ini bukan seragam Hanura, seragam ini sudah ada bahkan sebelum partai Hanura ada". Sontak seluruh hadirin, terkhusus pak Mahfud sendiri tertawa.
Perlu diketahui, seragam para dewan guru di pondok saat itu memang berwarnakan kuning partai Hanura. Sedangkan pak Mahfud sendiri saat itu datang sebagai tokoh dari PKB. Ada saja memang di benak para kyai itu, patahan-patahan, belokan-belokan, ide untuk jadi bahan bercanda. Juga masih banyak lagi candaan segar ala seorang Kyai sekaligus Profesor yang semoga diberi kesehatan. Aamiin. Selengkapnya ada di link youtube berikut:Â
Adapun fenomena kampanye di Muhammadiyah ternyata ada juga. Saya kira pada awalnya, di perkara politik Muhammadiyah cukup saja dengan mendapat hak di Kementerian Pendidikan. Ternyata sowan-sowan seperti itu ada juga di Muhammadiyah.
Fenomena ini tidak saya saksikan langsung, akan tetapi langsung dari sumbernya. Adik Kakek saya sendiri yang kebetulan sesepuh Muhammadiyah di Cipanas, Cianjur. Layaknya seorang cucu yang ingin mendengar nasehat dan memenuhi rasa rindu pada orang-orang bijak terdahulu. Saya mengunjungi beliau yang sedang sakit.
Beliau sosok yang jenaka, meskipun sedang sakit. Kami ngobrol kesana kemari, apalagi sekarang saya memiliki kesamaan dengan beliau. Yakni sama-sama pernah menimba ilmu di Yogyakarta. Dari bahasan nasihat mempelajari ushul fiqh sampai juga pada bahasan politik 2024.
Entah darimana sentuhan ke arah itu, karena sudah lupa. Seingat saya tak lama kemudian beliau memperlihatkan kedatangan anggota DPR RI yang memang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah. Serta beberapa foto lain yang juga mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI, lagi.
Bagi saya yang selama ini berpikir Muhammadiyah itu wes lurus-lurus saja. Karena memang terbukti dari Amal Usaha dan berbagai kegiatan sosialnya. Sehingga kiranya tidak terlalu bergantung pada urusan-urusan politik praktis. Ternyata yang namanya "silaturahmi politik", ya ada-ada saja.
Pada akhirnya, Kita tidak dapat menghindar dari apa yang namanya politik, baik itu politik sebagai kebijakan ataupun politik praktis. Setidaknya, kalaupun tidak menjadi pemain di politik praktis jangan sampai jadi yang dipermainkan. Terserah Anda mau mengikuti madzhab karena si anu sowan ke kyai lalu manut. Atau bodo amat sowan ke siapa saja. Pun bentuk kampanye ke kampus, pesantren, ataupun ormas lainnya.
Ingat, sediakan alasan dalam setiap pilihan untuk di hari pembalasan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H