Sedikit demi sedikit keretakan bangunan terlihat bertambah. Sinyal internet maupun biasa saat itu sangatlah lemah. Terlihat raut-raut penantian dari orang-orang yang terjebak hujan. Mereka menunggu kabar keluarganya yang ada di seberang jalur yang tertutupi longsor.
Istri kakakku juga terjebak di angkot, di tengah macet parah itu. Ia ingin segera bertemu dengan anak semata wayangnya yang belum ada informasi terkait keadaannya. Aku juga ikut panik, karena harus menjemput kakak ipar yang terjebak di tengah kemacetan parah dan mulai ramainya sirine ambulan yang berdatangan dari arah Jakarta.
Setelah ada informasi bahwa kakak iparku kembali lagi ke Cipanas, barulah Aku memaksakan diri menuju lokasi longsoran. Menerobos pembatas jalan yang memang hanya bisa di lewati motor hingga batas berikutnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari longsoran. Di sinilah pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya terjadi.
Sesudah melewati dua kelokan tajam dengan berjalan, di sanalah Aku bermusyahadah pada apa yang disebut longsor. Timbunan tanah yang menutupi jalan besar sekitar dua meter setengah dengan tinggi tanah hampir tiga meter lebih. Telah dijaga ketat oleh aparat kepolisian, TNI, dan SAR. Terlihat di ujung atas sumber longsoran, tanah sisa longsoran masih berguguran.
Kemudian, setelah beberapa menit menunggu izin dari aparat untuk melewati longsoran, akhirnya Aku menaiki timbunan tersebut sambil melepas alas kaki. Tanah yang dilewati masih terasa hangat. Terbayang ada banyak korban tertimbun yang terpaksa harus di lewati oleh kaki. Aku tahu bahwa asalnya, di bawah timbunan itu terdapat banyak warung kopi. Tempat di mana para sopir truk biasa beristirahat untuk makan siang.
Baru seperempat jalan di atas timbunan, polisi memerintahkan yang melewati timbunan agar lari. Terlihat tanah mulai bergerak kembali memang. Apalagi gempa susulan masih terus terjadi. Baru selesai melewati satu timbunan, ternyata di depan ada lagi timbunan longsor. Tak jauh dari tempat longsoran pertama.
Setelah berhasil melewati longsoran, orang-orang dari arah lalu lintas sebaliknya terlihat berjajar. Seperti halnya rombongan dari arah aku datang, pun mereka hendak pulang dari kota menuju kampung halamannya yang berada di balik longsoran. Sedangkan di tempat itu pula, gempa terasa lebih dahsyat. Sedangkan jalan alternatif via Jonggol dikabarkan sudah mulai sesak oleh kendaraan bantuan dari Jakarta.
Sirine kendaraan bantuan dari arah Bandung, ambulan RS Kabupaten, dan polisi bergemuruh seperti suara lebah. Semua berusaha mengevakuasi warga yang terluka, berada di pusat gempa, dan yang meninggal dunia ke daerah aman.Â