Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cianjur, 21 November 2022

14 Desember 2023   01:44 Diperbarui: 14 Desember 2023   01:56 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Longsoran Pertama sedang dievakuasi. Liputan6.com

21 November 2022, sekitar pukul 13:21. Aku kira layaknya gempa pada umumnya di Jawa Barat. Gempa yang bertitik di laut selatan pulau Jawa. Entah itu Pelabuhan Ratu, ataupun Pangandaran seperti umumnya terjadi getaran besar di Jawa Barat. Ternyata tidak, data statistika pribadiku salah kali ini.

Aku yang tinggal di dekat paku bumi Gede-Pangrango merasa tenang saja, sekaligus waspada. Tenang karena merasa berada jauh dari pantai selatan dan dekat dengan pasak bumi. Tapi waspada akan Gede-Pangrango yang lama belum memuntahkan laharnya, setelah sekian tahun melebihi masa kehamilannya. Apalagi, getaran besar dan lebih dari satu menit itu seakan menunjukkan bahwa titik gempa tidak jauh.

Kakakku yang pembawaannya rusuh, kali ini memiliki firasat benar. Di tengah perjalanannya menuju Bekasi untuk kembali mencari nafkah. Ia dengan tegang menelepon Aku dan Tetehku (sebutan untuk kakak perempuan di adat Sunda) yang berada di Cipanas, pinggiran utara Kabupaten Cianjur. 

Terdengar suara panik darinya, memikirkan keluarganya yang berada di pusat Kabupaten Cianjur. Terutama anak semata wayangnya, keponakanku tercinta yang biasa Kami panggil Prof Rhazes.

Dengan sedikit bekal ilmu geografi yang Aku miliki, BMKG merilis data sementara bahwa titik pusat gempa berada di pusat Kabupaten. Memang terkesan kecil jika melihat 5,6 SR, tapi dengan kedalaman 10 Km dapat disimpulkan dengan mudah bahwa gempa ini sangatlah dahsyat. Untuk beberapa menit, belum ada informasi terkait kondisi sekitar titik gempa.

Kakakku yang sudah setengah jalan menuju Bekasi via Jonggol, dengan mengandalkan firasat dan sifat rusuhnya langsung kembali ke Cianjur. Jalur yang bukan main ekstrem dari segi kelokan, tanjakan, benjolan jalan dan kendaraan besar yang sering melewatinya. Bagiku yang sudah tahu karakter grasa grusunya, saat itu Aku pikir kakak terlalu lebay. Mungkin juga karena Aku belum merasakan kehidupan berkeluarga.

Tetapi, setelah sinyal mulai normal dan seluruh anggota keluarga menginformasikan keadaannya. Saat itulah Aku yakin bahwa gempa ini gempa yang dahsyat. Bukan sekedar sekali ledak dan mengagetkan. Beberapa faktor seperti lokasi tempat tinggalku yang berada di kaki gunung memang membuat gempa tidak begitu terasa. Meskipun jarak antara kecamatanku dan kecamatan-kecamatan yang terdampak hanya terpisah oleh satu atau dua desa.

Aku yang memang pertama kali mengalami gempa berpusat kan di kampung sendiri masih bingung bertindak. Karena Aku pikir, gempa itu hanya sesekali saja. Pun jika ada yang namanya gempa susulan, tidak akan berdekatan dan sebesar gempa pertama. Hingga akhirnya, setelah Ibu memberitahuku dari tempat kerjanya bahwa Ayah terjebak di rumah yang ternyata berada di zona merah. Barulah Aku langsung pergi untuk menyusulnya.

Tak lama setelah melewati dua desa, barulah terlihat rumah-rumah yang roboh di pinggir jalan. Hal yang sangat berbeda dengan kampungku yang sama sekali tidak ada bekas gempa. Semakin jauh motor melaju, semakin padat kendaraan macet karena jalur menuju Cianjur terputus oleh longsor. Sedangkan itu satu-satunya jalan besar menuju pusat Kabupaten dari Cipanas. Adapun jalur alternatif, dikabarkan jembatannya rusak.

Sambil menunggu informasi lebih lanjut terkait arus lalu lintas menuju tempat Ayahku berada. Hujan rintik turun, Aku menepi di sebuah rumah makan yang juga mengalami kerusakan akibat gempa. Daerah tersebut sudah setengah jalan menuju lokasi Ayahku terjebak. Terlihat kerusakan di rumah makan tempat Aku berteduh sangatlah parah. Bahkan pintu musala tempat Aku melaksanakan salat Asar pun runtuh. Pos penjagaan satpam sudah miring.

Disinilah, untuk pertama kalinya Aku mengalami betapa dahsyatnya gempa susulan. Setiap hampir satu menit sekali, terjadi gempa susulan. Setiap itu pula orang-orang yang berteduh; pekerja, pedagang, dan setiap orang yang hendak pulang menuju pusat kabupaten menjauh dari bangunan. 

Sedikit demi sedikit keretakan bangunan terlihat bertambah. Sinyal internet maupun biasa saat itu sangatlah lemah. Terlihat raut-raut penantian dari orang-orang yang terjebak hujan. Mereka menunggu kabar keluarganya yang ada di seberang jalur yang tertutupi longsor.

Istri kakakku juga terjebak di angkot, di tengah macet parah itu. Ia ingin segera bertemu dengan anak semata wayangnya yang belum ada informasi terkait keadaannya. Aku juga ikut panik, karena harus menjemput kakak ipar yang terjebak di tengah kemacetan parah dan mulai ramainya sirine ambulan yang berdatangan dari arah Jakarta.

Setelah ada informasi bahwa kakak iparku kembali lagi ke Cipanas, barulah Aku memaksakan diri menuju lokasi longsoran. Menerobos pembatas jalan yang memang hanya bisa di lewati motor hingga batas berikutnya yang berjarak sekitar dua kilometer dari longsoran. Di sinilah pemandangan yang tak terbayangkan sebelumnya terjadi.

Sesudah melewati dua kelokan tajam dengan berjalan, di sanalah Aku bermusyahadah pada apa yang disebut longsor. Timbunan tanah yang menutupi jalan besar sekitar dua meter setengah dengan tinggi tanah hampir tiga meter lebih. Telah dijaga ketat oleh aparat kepolisian, TNI, dan SAR. Terlihat di ujung atas sumber longsoran, tanah sisa longsoran masih berguguran.

Titik Longsoran Jalur Puncak-Cianjur setelah diperbaiki. Kumparan.com
Titik Longsoran Jalur Puncak-Cianjur setelah diperbaiki. Kumparan.com

Kemudian, setelah beberapa menit menunggu izin dari aparat untuk melewati longsoran, akhirnya Aku menaiki timbunan tersebut sambil melepas alas kaki. Tanah yang dilewati masih terasa hangat. Terbayang ada banyak korban tertimbun yang terpaksa harus di lewati oleh kaki. Aku tahu bahwa asalnya, di bawah timbunan itu terdapat banyak warung kopi. Tempat di mana para sopir truk biasa beristirahat untuk makan siang.

Baru seperempat jalan di atas timbunan, polisi memerintahkan yang melewati timbunan agar lari. Terlihat tanah mulai bergerak kembali memang. Apalagi gempa susulan masih terus terjadi. Baru selesai melewati satu timbunan, ternyata di depan ada lagi timbunan longsor. Tak jauh dari tempat longsoran pertama.

Longsoran kedua, jabar.pojoksatu
Longsoran kedua, jabar.pojoksatu

Setelah berhasil melewati longsoran, orang-orang dari arah lalu lintas sebaliknya terlihat berjajar. Seperti halnya rombongan dari arah aku datang, pun mereka hendak pulang dari kota menuju kampung halamannya yang berada di balik longsoran. Sedangkan di tempat itu pula, gempa terasa lebih dahsyat. Sedangkan jalan alternatif via Jonggol dikabarkan sudah mulai sesak oleh kendaraan bantuan dari Jakarta.

Sirine kendaraan bantuan dari arah Bandung, ambulan RS Kabupaten, dan polisi bergemuruh seperti suara lebah. Semua berusaha mengevakuasi warga yang terluka, berada di pusat gempa, dan yang meninggal dunia ke daerah aman. 

Tak  jauh dari  longsoran terakhir, sampailah aku ke rumah tempat ayah biasa menikmati masa pensiunnya. Di situlah juga pemandangan gila yang tak pernah terbayangkan sama sekali terlihat. (Lanjut Part 2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun