Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebarluaskan Zawiyah, untuk Bengkel Mental yang Inklusif

16 Juni 2023   02:30 Diperbarui: 16 Juni 2023   02:46 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari kepengangguranan saya yang diisi dengan nonton serial drama sejarah Turki. Dimana setiap episodenya bisa sampai dua jam. Satu serial bisa sampai lima season. Semua menyiratkan bahwa tradisi sufistik di Turki sangatlah kental.

Meskipun tentu saja film tidak bisa merepresentasikan bagaimana kondisi real dari peradaban Islam masa lalu Tapi setidaknya jika meminjam teori filsafatnya para filsuf realisme, justru film yang merupakan karya seni dan ide dari para pembuatnya tidak akan lepas dari realita yang tertangkap. Anggap saja setidaknya kemungkinan kebenarannya ada setengah persen.

Pada sebagian scene film tersebut diceritakan bagaimana pemimpin-pemimpin politik Islam Turki semenjak Seljuk hingga Ottoman tidak terlepas dari tradisi-tradisi sufistik. Meskipun tradisi sufistik seperti kehidupan yang zuhud, qana'ah, dan lain sebagainya tidak mesti berkaitan dengan zawiyah, dergah (pondok), ataupun tarekat dalam sebagian konteks. Seperti bagaimana kesederhanaan hidup KH. Ahmad Dahlan, Buya Syafi'i Ma'arif, dan Cak Nur. Setidaknya takhsis tradisi sufistik atau tasawwuf yang dikaitkan dengan kehidupan tarekat memiliki urgensitas tersendiri.

Kembali kepada bagaimana fenomena sufi yang digambarkan dengan (mari kita katakan) tarekat digambarkan pada film-film Turki tersebut. Selain dari kedekatan antara para penguasa dengan kaum tarekat, penguasa sendiri juga menyediakan berbagai fasilitas bagi kaum tarekat.

Sebagai contoh, dalam film Kurulus Osman, digambarkan bagaimana Osman sebagai penakluk Kota Sogut menyediakan dergah atau pondok untuk kaum sufi. Dalam film Mavera Ahmed Yesevi, digambarkan pula bagaimana Hace Ahmed Yesevi, seorang sufi murid Yusuf Hamdani al-Hanafi diutus untuk menjadi pemimpin dergah di Kota Baghdad.

Dari dua contoh yang tentu simplifikatif di atas, menunjukkan betapa pemerintah daulah islamiyyah saat itu begitu perhatiannya pada dunia spiritual. Secara lebih rinci, pada film Yunus Emre, digambarkan pula bagaimana Qadi Yunus yang baru lulus dari sekolah Qadi untuk dikirimkan ke sebuah kota. Kebetulan sekali disana sudah ada dergah dari Tapduk Emre. Tapduk Emre yang bijaksana bahkan tidak memiliki riwayat pendidikan sedalam dan seserius Qadi Yunus mampu menaklukkan hati Qadi Yunus hingga melepaskan jubah jabatannya sebagai Qadi (hakim) demi menempuh jalan spiritual.

Dergah-dergah ataupun Zawiyah tersebut tidak menjadi lembaga pendidikan eksklusif. Semua orang berhak utuk datang kesana, mengadukan berbagai permasalahan hidup dengan jawaban-jawaban spiritual. Para pemimpin sufi tidak hanya memberikan solusi yang "ritual" akan tetapi menjadi tempat mengadu atau dalam bahasa sekarangnya mentoring. 

Bahkan kalangan tarekat Ahi Evran tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat batin dan mental. Mirip dengan Sarekat Dagang Islam yang jadi cikal bakalnya Sarekat Isam di Indonesia. Kalangan Ahi Evran semacam "koperasi sufi" dimana para pengikutnya membuat serikat pekerja sesuai dengan profesi masing-masing. Mereka berbagi tugas, bermusyawarah, bagaimana kesejahteraan bisa terwujud secara merata.

            Kembali kepada judul yang menjadi topik utama. Lalu apa relevansnya tarekat, dergah, ataupun zawiyah ini dengan bengkel mental?

Sebagaimana maraknya konten yang membahas dunia psikologi yang "agaknya" menurut penulis telah bergeser menjadi sekedar pop-culure. Kedalaman makna menjaga kesehatan mental hanya menjadi trend semata. Atau paling tidak menjadi isu liar yang menjadi pembahasan kosong, sia-sia, atau paling tidak masih mentah. Memang ada banyak akses yang tersedia untuk semua kalangan di internet. Seperti tes karakteristik MBTI gratis, tes IQ, tes big five atau apapun itu yang kaum psikolog mungkin lebih mengerti.

Hanya saja, validitas dan terlalu liarnya informasi itu juga mengkhawatirkan. Ya, mengkhawatirkan karena bisa jatuh kepada self-diagnose. Ibarat seseorang yang sakit mah malah dikasih obat sakit jantung. Justru akan menyebabkan overdosis bukan?

Kondisi seperti informasi liar, alat-alat diagnosa sembarangan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental yang asal-asalan. Tidak terlepas dari sulitnya akses untuk ke psikolog baik dalam pola pikir masyarakat, biaya, maupun ketersediaan tenaga konselor yang ada.

Kembali pada bagaimana tersebarnya zawiyah di setiap wilayah kekauasaan Islam dahulu. Tidak ada salahnya apabila kalangan tarekat mendirikan atau menggunakan masjid yang "sudah terlalu banyak" ini untuk menjadi pusat konseling masyarakat. Persetan dengan omongan yang anti terhadap tasawuf, dan tradisi sufistik. Kesehatan mental maupun spiritual sudah, sedang, dan akan menjadi persoalan tiada akhir selama dunia masih ada. Apalagi dengan kecepatan informasi dan robotisasi berbagai sendi kehidupan yang setuju atau tidak mulai menggeser sisi-sisi kesadaran Kita sebagai manusia yang memiliki akal, hati, jiwa, dan fisik.

Sekali lagi, mengembalikan tradisi zawiyyah sebagai bengkel mental merupakan tantangan tersendiri bagi kaum sufi, intelektual muslim, praktisi agama, praktisi kesehatan mental, atau siapapun itu yang masih hidup jiwa kemanusiaannya. Meski tulisan ini tentunya tidak lebih sekedar sumbangsih teoritik, semoga saja orang-orang yang mumpuni di bidang ini bias berkolaborasi. Dalam pemikiran radikal saya sekaligus sebagai penutup, "perbaikan mental umat jauh lebih penting daripada berlomba-lomba membangun masjid yang secara tidak langsung berkontribusi pada perusakan alam".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun