Kondisi seperti informasi liar, alat-alat diagnosa sembarangan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental yang asal-asalan. Tidak terlepas dari sulitnya akses untuk ke psikolog baik dalam pola pikir masyarakat, biaya, maupun ketersediaan tenaga konselor yang ada.
Kembali pada bagaimana tersebarnya zawiyah di setiap wilayah kekauasaan Islam dahulu. Tidak ada salahnya apabila kalangan tarekat mendirikan atau menggunakan masjid yang "sudah terlalu banyak" ini untuk menjadi pusat konseling masyarakat. Persetan dengan omongan yang anti terhadap tasawuf, dan tradisi sufistik. Kesehatan mental maupun spiritual sudah, sedang, dan akan menjadi persoalan tiada akhir selama dunia masih ada. Apalagi dengan kecepatan informasi dan robotisasi berbagai sendi kehidupan yang setuju atau tidak mulai menggeser sisi-sisi kesadaran Kita sebagai manusia yang memiliki akal, hati, jiwa, dan fisik.
Sekali lagi, mengembalikan tradisi zawiyyah sebagai bengkel mental merupakan tantangan tersendiri bagi kaum sufi, intelektual muslim, praktisi agama, praktisi kesehatan mental, atau siapapun itu yang masih hidup jiwa kemanusiaannya. Meski tulisan ini tentunya tidak lebih sekedar sumbangsih teoritik, semoga saja orang-orang yang mumpuni di bidang ini bias berkolaborasi. Dalam pemikiran radikal saya sekaligus sebagai penutup, "perbaikan mental umat jauh lebih penting daripada berlomba-lomba membangun masjid yang secara tidak langsung berkontribusi pada perusakan alam".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI