Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Si Paling Toleransi: Dua Kali Idul Fitri di Yogyakarta (Cerita Lebaranku Tahun Ini)

3 Mei 2023   06:20 Diperbarui: 3 Mei 2023   06:23 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Terlalu mulia jika dikatakan aku tengah hijrah di belahan bumi lain dengan pulau yang sama. Yogyakarta namanya, Kota Pelajar diantara julukannya. Cukup katakan saja aku tengah membuang diri ke negeri orang meski masih belum seberapa dibandingkan mereka yang merantau melawati lautan, terapung diatas air atau terbang di atas awan.

            Hampir genap empat bulan berada jauh dari Aroma Tanah Sunda adalah kali pertama dari sejarah hidup "nomaden" yang telah lama aku jalani. Sebelumnya, aku memang sudah terbiasa hidup di negeri orang bernama Tasikmalaya yang biasa dijuluki Kota Santri. Hidup selama sepuluh tahun disana, jauh dari orang tua ternyata masih belum memenuhi hasrat berpetualang yang terus menyala.

            Hidup nomaden, merantau, atau syar'i-nya berhijrah sudah menjadi api hidup. Jika tidak menyala, sepertinya matilah diriku. Tapi sekali menyala, ia akan terus menyala hingga tiada hingga. Seperti burung phoenix yang ada di film Harry Potter yang juga menjadi simbol keabadian di Peradaban Barat. Api Burung Phoenix membakar dirinya sendiri menjadi abu, dari abu itu menjadi Burung Phoenix, lalu begitu seterusnya tiada akhir. Api Hijrah yang menyala-nyala dalam jiwa ini pun begitu. Tiada akhir, bahkan setelah datangnya hari akhir.

            Kini aku berada di Yogyakarta, saat sedang menulis pun saat orang lain pulang ke kampung halaman alias mudik. Demi apa? Demi merasakan sensasi Idul Fitri di Jogja. Sensasi dimana orang lain mudik bertemu keluarga, kini melihat orang lain mudik ke Jogja. Sensasi serasa jadi orang Jogja yang menerima tamu-tamu mudik. Sensasi orang-orang yang kangen karena tak mampu, tak bisa, atau tak diizinkan baik oleh alam maupun Tuhan baik karena jarak maupun waktu untuk mudik.

            Memang, ini bukan pertama kalinya bagiku mengalami idul fitri di kampung orang. Selama di Tasikmalaya aku sudah dua kali sengaja tidak mudik ke Cianjur. Yang pertama karena ingin merasakan vibes idul fitri di pondok. Yang kedua ingin merasakan vibes idul fitri sebagai penduduk lokal Tasikmalaya, karena kondisi saat itu aku sudah keluar dari pondok. Untuk kali ketiga ini, mungkin untuk memenuhi persyaratan yang aku buat sendiri dalam dunia pernomadenan sebagaimana dua pengalaman sebelumnya, yakni setidaknya sekali idul fitri di kampung orang yang tepatnya kali ini di Yogyakarta.

            Catatan cerita ini jelas tidak bisa menggambarkan bagaimana kondisi idul fitri di Jogja. Aku terlalu kecil untuk bisa mewakili gambaran kehidupan idul fitri di Jogja. Belum lagi kesibukan diri dengan kesendirian selama takbiran alias jomblo. Tentu akan mereduksi "bagaimana sih idul fitri di Jogja itu?".

            Sebagai gambaran, kosan ku berada di padukuhan Tempel, Kelurahan Caturtunggal, Sleman. Tinggal di search aja di google untuk tau gambaran seperti apa lingkungannya. Yang jelas, gedung besar hotel Ambarukmo menjadi monumen yang senantiasa disebut-sebut ketika ditanya orang "tinggal dimana?". Aku jawab, "tinggal di Ambarukmo" sebagai guyonan standar untuk membuka perkenalan.

            Ada alasan filosofis sebenarnya daripada ketidakmudikanku ini. Ialah terinspirasi dari filosofi hidup orang sebrang (sebutan orang Jawa untuk orang-orang yang tinggal di luar Pulau Jawa, khususnya Sumatera). "Pantang pulang sebelum sukses di perantauan", kira-kira begitulah filosofi hidup orang-orang rantau dari Sumatera. Atau mungkin juga seperti pepatah yang dipakai oleh Pemuda Pancasila (yang kebetulan pembesarnya ada di dekat kosan) "sekali layar terkembang surut kita berpantang". Sebelum sukses diperantauan, sebelum mendapat ikan di tengah lautan, pantang Kita pulang ke pesisir daratan.

            Sebagai orang Sunda yang tidak terlalu merantau secara kultural karena terkenal akan kesuburannya. Khususnya aku sebagai pribumi Cianjur asli yang cenderung "menak" alias dimanja, tidak seperti Sunda lainnnya seperti Tasik dan Garut yang ada dimana-mana sekaligus menjadi bos di perantauan. Atau pekerja warmindo di Jogja yang pasti orang Kuningan. Tentu hal baik "pantang pulang" ini aku pegang teguh sebagai counter culture zona nyaman Cipanas, Cianjur. Tanah subur yang berada di Kaki Gunung Gede-Pangrango, berada diantara dua kota besar Bandung-Jakarta, juga banyak tempat wisata (termasuk wisata maksiat).

            Alasan lain yang agaknya dibuat-buat ialah agar tak ditanya tentang jodoh dan pekerjaan. Aku tak terlalu menaggapi kalaupun ada di keluarga yang menanyakan demikian. Justru bagiku itu adalah pertanyaan yang ditunggu untuk mencairkan suasana kumpul keluarga. Hanya saja, jika diresapi, setelah selesai kuliah ya apalagi yang mau dikejar? Kurikulum hidup nikah, kerja, atau kuliah masih ompong di poin nikah dan kerja bagiku yang kini sedang menganggur jalur kuliah lagi.

            Namun dari semua "bacotan" tadi, hal yang tak kalah menarik terjadi di lebaran kali ini ialah aku yang lebaran dua kali. Memang satu tahun hijriyyah ada dua kali yaitu lebaran idul fitri dan idul adha. Tapi ini berbeda, aku dua kali melaksanakan salat idul fitri dalam satu tahun.

            Fenomena perbedaan waktu lebaran memang hal yang terjadi sesekali kali dua jadi dua kali bahkan lebih di Indonesia, bahkan dunia. Bahkan pernah suatu saat di tahun dua ribu belasan ada peristiwa idul adha di Indonesia yang tak berbarengan dengan Arab padahal idul adha dilaksanakan sehari setelah wukuf di arafah. Demikianlah, bagaimana manusia berbeda-beda dalam membaca waktu semesta. Di Turki tahun ini misalnya, teman online saya bernama Abdurrahman yang berasal dari Turki bercerita bahwa disana ada tiga pelaksanaan idul fitri, Jum'at, Sabtu, dan Minggu.

            Kamis menjelang maghrib menjadi awal waktu gelisah dimulai. Waktu itu pemerintah memang sedang melakukan sidang isbat. Ternyata pemerintah memutuskan bulat-bulat bahwa idul fitri akan dilaksanakan hari sabtu. Muhammadiyyah tentu saja sudah curi start, sejak awal Ramadhan sudah bocor informasi bahwa idul fitri akan dilaksanakan hari Jum'at.

            Aku yang selama Ramadhan tak lebih dari hitungan jari melaksanakan tarawih karena ceramah tarawih di masjid-masjid Jogja terlalu lama akhirnya bingung. Mau ikut yang mana? Haruskah ta'at pada ulil amri (pemerintah)? Atau ikut ke jemaah 11 rakaat yang selalu menjadi favorit karena singkat meskipun masjidnya masjid 23 rakaat? Malam takbiran idul fitri pertama habis dengan overthinking ini daripada ikut takbiran.

            Akhirnya, aku putuskan untuk ikut keduanya saja untuk salat 'Id. Jum'at karena ingin mengakrabkan diri dengan Takmir Masjid Jendral Sudirman yang merupakan penyelenggara Ngaji Filsafat. Dimana Masjidnya itu masjid warga Muhammadiyyah. Sambil dalam hati berniat berpuasa. Sedangkan salat 'Id esok hari untuk memenuhi perintah agama agar ta'at pada pemerintah, juga mengakrabkan diri dengan salah satu masjid dari tiga masjid yang ada disekitaran kosan yang berlatar warga Nahdyliyyin.

            Namun, akhirnya bukan hanya Salat 'Id yang Aku laksanakan di hari Jum'at. Sepulang Salat 'Id bersama takmir Masjid Jenderal Sudirman. Kami bersilaturahmi pada tokoh warga setempat MJS Colombo. Tentu saja saat bertamu Kami dipaksa makan. Mau menolak, rasanya tidak baik. Akhirnya aku batalkan puasa juga yang tadinya padahal hanyalah ikut-ikutan salat 'Id saja.

            Sedangkan di Hari Sabtu, tentu aku sudah tidak menggebu-gebu untuk makan-makan di Siang hari. Tak seperti orang yang Idul Fitri pada hari itu. Karena di hari itu, aku hanya ikut-ikutan salat 'Id saja.

            Tapi inilah kali pertama aku memegang mic masjid di Jogja untuk takbiran. Karena galau memutuskan 'Id sudah terlewat. Sebagai pengganti dari takbiran malam Sabtu yang ditinggal karena malas, Aku datang ke masjid lebih awal. Sebelum subuh tanpa pulang dulu ke kosan. Disinilah momen aku masuk menjadi warga Jogja, pengurus masjid meminta aku untuk memimpin takbiran karena mereka sudah lelah takbiran semalam dan sedang menyiapkan masjid untuk 'Id di pagi hari. Konflik batin antara ria dan bersyukur pun terjadi seperti biasanya.

            Setelah selesai salat, Aku seperti orang hilang yang bingung mencari arah. Entah apa yang harus dilakukan karena tak tau kultur pasca salat id disana. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, melihat situasi akan apa yang masyarakat lakukan.

            Ternyata, kultur salam-salaman sesudah Salat Idul Fitri Warga Nahdliyyin sama saja di semua tempat. Seperti di kampung halamanku. Disana pun semua warga yang melaksanakan Salat 'Id mengantri bersalaman. Bedanya, disini terdapat "kesetaraan gender" dimana antara makmum laki-laki dan perempuan tidak dipisahkan salam-salaman dengan gendernya masing-masing. Berbeda dengan di kampung halamanku, laki-laki hanya salam-salaman dengan laki-laki, begitu pun sebaliknya. Sehingga antara makmum laki-laki dan perempuan, di Warga Nahdliyyin Jogja salam-salaman dengan bersentuhan tangan. Susah untuk menjaga wudhu.

Salam-salaman di Lebaran ke-2 (dokumen pribadi)
Salam-salaman di Lebaran ke-2 (dokumen pribadi)

            Setelah semua masyarakat Salat 'Id disalami, barulah masyarakat berkumpul melingkar sambil makan-makan camilan ringan. Ada rempeyek, bakmi lapis kulit pisang, agar-agar, dan lain-lain. Jemaah yang berada diluar masjid berkumpul diatas Tikar Jawa. Bapak-bapak berkumpul di dalam masjid. Anak muda duduk berjajar diluar sambil ngudud.

            Tak selang berapa lama kemudian, ketua pengurus Masjid Al -- Ma'unah Saren mengundang masyarakat untuk makan-makan di rumahnya. Belum habis makan camilan, Aku dipaksa untuk makan di dalam rumah. Terutama karena qadha takbiran malamku dari subuh sampai Salat 'Id dimulai.

            Makanan yang tersedia di rumah bapak ketua itu tak jauh berbeda dengan rumah tokoh masyarakat MJS pada Idul Fitri pertama. Lontong sebagai makanan pokok selain ketupat setidaknya kekhasan tersendiri yang baru Aku temukan dan tidak ada di Tasikmalaya maupun Cianjur selama lebaran. Opor senantiasa menjadi teman nasi yang wajib di setiap rumah saat Idul Fitri. Hanya saja ada beberapa makanan pendamping nasi yang berbeda. Di masyarakat Idul Fitri pertama ada berbagai olahan daging. Di masyarakat Idul Fitri kedua juga sama, hanya tidak sebanyak di tempat pertama seperti ketiadaan sate, digantikan dengan Soto Ayam.

            Selain itu, ada fenomena-fenomena lain di Jogja selama Idul Fitri. Seperti jalanan yang lenggang, toko-toko yang tutup selama seminggu setelah lebaran. Juga puncak kemacetan saat sehari sebelum takbiran.

            Jogja memang sempat ramai dengan isu UMR terendah di Pulau Jawa. Tapi ternyata tidak seperti yang selalu ada dipikiran bahwa orang mengejar sekolah di Jogja. Banyak pula yang mencari nafkah disana. Namun sepinya Jogja menimbulkan suasana tenang yang mengesankan bahwa Kota Jogja tengah menghirup udara segar nan tenang sebelum nanti Syawwal dipenuhi lagi dengan orang-orang yang datang beserta masalahnya.

            Dua kali Idul Fitri di perantauan ini terlepas dari hukum fiqihnya sangatlah mengesankan. Menunjukkan bahwa warna Jogja bukan hanya diwarnai oleh cat para pendatang. Khususnya dalam Kanvas Islam, warna-warna cat itu sudah ada oleh penduduk asli Jogja itu sendiri.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun