Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Si Paling Toleransi: Dua Kali Idul Fitri di Yogyakarta (Cerita Lebaranku Tahun Ini)

3 Mei 2023   06:20 Diperbarui: 3 Mei 2023   06:23 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Fenomena perbedaan waktu lebaran memang hal yang terjadi sesekali kali dua jadi dua kali bahkan lebih di Indonesia, bahkan dunia. Bahkan pernah suatu saat di tahun dua ribu belasan ada peristiwa idul adha di Indonesia yang tak berbarengan dengan Arab padahal idul adha dilaksanakan sehari setelah wukuf di arafah. Demikianlah, bagaimana manusia berbeda-beda dalam membaca waktu semesta. Di Turki tahun ini misalnya, teman online saya bernama Abdurrahman yang berasal dari Turki bercerita bahwa disana ada tiga pelaksanaan idul fitri, Jum'at, Sabtu, dan Minggu.

            Kamis menjelang maghrib menjadi awal waktu gelisah dimulai. Waktu itu pemerintah memang sedang melakukan sidang isbat. Ternyata pemerintah memutuskan bulat-bulat bahwa idul fitri akan dilaksanakan hari sabtu. Muhammadiyyah tentu saja sudah curi start, sejak awal Ramadhan sudah bocor informasi bahwa idul fitri akan dilaksanakan hari Jum'at.

            Aku yang selama Ramadhan tak lebih dari hitungan jari melaksanakan tarawih karena ceramah tarawih di masjid-masjid Jogja terlalu lama akhirnya bingung. Mau ikut yang mana? Haruskah ta'at pada ulil amri (pemerintah)? Atau ikut ke jemaah 11 rakaat yang selalu menjadi favorit karena singkat meskipun masjidnya masjid 23 rakaat? Malam takbiran idul fitri pertama habis dengan overthinking ini daripada ikut takbiran.

            Akhirnya, aku putuskan untuk ikut keduanya saja untuk salat 'Id. Jum'at karena ingin mengakrabkan diri dengan Takmir Masjid Jendral Sudirman yang merupakan penyelenggara Ngaji Filsafat. Dimana Masjidnya itu masjid warga Muhammadiyyah. Sambil dalam hati berniat berpuasa. Sedangkan salat 'Id esok hari untuk memenuhi perintah agama agar ta'at pada pemerintah, juga mengakrabkan diri dengan salah satu masjid dari tiga masjid yang ada disekitaran kosan yang berlatar warga Nahdyliyyin.

            Namun, akhirnya bukan hanya Salat 'Id yang Aku laksanakan di hari Jum'at. Sepulang Salat 'Id bersama takmir Masjid Jenderal Sudirman. Kami bersilaturahmi pada tokoh warga setempat MJS Colombo. Tentu saja saat bertamu Kami dipaksa makan. Mau menolak, rasanya tidak baik. Akhirnya aku batalkan puasa juga yang tadinya padahal hanyalah ikut-ikutan salat 'Id saja.

Terpaksa makan (dokumen pribadi)
Terpaksa makan (dokumen pribadi)

            Sedangkan di Hari Sabtu, tentu aku sudah tidak menggebu-gebu untuk makan-makan di Siang hari. Tak seperti orang yang Idul Fitri pada hari itu. Karena di hari itu, aku hanya ikut-ikutan salat 'Id saja.

            Tapi inilah kali pertama aku memegang mic masjid di Jogja untuk takbiran. Karena galau memutuskan 'Id sudah terlewat. Sebagai pengganti dari takbiran malam Sabtu yang ditinggal karena malas, Aku datang ke masjid lebih awal. Sebelum subuh tanpa pulang dulu ke kosan. Disinilah momen aku masuk menjadi warga Jogja, pengurus masjid meminta aku untuk memimpin takbiran karena mereka sudah lelah takbiran semalam dan sedang menyiapkan masjid untuk 'Id di pagi hari. Konflik batin antara ria dan bersyukur pun terjadi seperti biasanya.

            Setelah selesai salat, Aku seperti orang hilang yang bingung mencari arah. Entah apa yang harus dilakukan karena tak tau kultur pasca salat id disana. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, melihat situasi akan apa yang masyarakat lakukan.

            Ternyata, kultur salam-salaman sesudah Salat Idul Fitri Warga Nahdliyyin sama saja di semua tempat. Seperti di kampung halamanku. Disana pun semua warga yang melaksanakan Salat 'Id mengantri bersalaman. Bedanya, disini terdapat "kesetaraan gender" dimana antara makmum laki-laki dan perempuan tidak dipisahkan salam-salaman dengan gendernya masing-masing. Berbeda dengan di kampung halamanku, laki-laki hanya salam-salaman dengan laki-laki, begitu pun sebaliknya. Sehingga antara makmum laki-laki dan perempuan, di Warga Nahdliyyin Jogja salam-salaman dengan bersentuhan tangan. Susah untuk menjaga wudhu.

Salam-salaman di Lebaran ke-2 (dokumen pribadi)
Salam-salaman di Lebaran ke-2 (dokumen pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun