Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bacalah, Meskipun Kau Menjadi Kafir!

24 Maret 2023   03:17 Diperbarui: 24 Maret 2023   03:33 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu diskusi di kelas pada mata pelajaran Studi Tafsir perspektif pendidikan, salah seorang Mahasiswa bertanya kepada pemateri. "mba, tadi kan tujuan dari pendidikan Islam berdasarkan perspektif Quran itu menciptakan manusia yang berfikir, beribadah, dan berbuat kebajikan. Bagaimana seandainya dengan berfikir itu justru menjadikan manusia lebih ke kiri (mungkin maksudnya entah pada ideologi kiri berhaluan sosialis atau bisa juga ekstrim liberalis)". Kebetulan yang sedang Kami bahas waktu itu adalah tujuan pendidikan Islam perspektif al-Quran.

Merupakan hal yang menarik memang, disamping tujuan-tujuan al-Quran menciptakan manusia yang beribadah, berpikir, dan berbuat kebajikan. Fenomena "berpikir maka membuat kafir" itu bukan hal baru, dan bukan hanya angan-angan. Tak perlu munafik dengan memungkiri fenomena tersebut dengan bantahan bahwa berpikir yang benar, menjadikan manusia dekat Tuhan. Toh banyak bukan, para saintis atau pemikir yang memang menjadi "kafir"?

Diskusi panjang antara berpikir (atau versi lainnya berpikir bebas) dengan mematuhi teks-teks suci ini memang berkepanjangan. Saking panjangnya bahkan pedang yang panjang beberapa kali dikeluarkan dari sarungnya untuk memenggal yang tak sepaham satu sama lain. Tidak hanya di dunia Islam, di belahan agama lain pun demikian.

Abad kegelapan di Eropa yang terkenal dengan Dark Age juga memiliki permasalahan ini. Ya, permasalahan pembatasan berpikir karena takut kafir. Itulah yang setidaknya menjadikan Eropa mengalami Abad Kegelapan yang panjang.

Sedangkan sebaliknya, dunia Islam ketika itu tengah cemerlang. Karena keterbukaan berpikir, berani untuk berpikir bebas tanpa takut jadi kafir. Meskipun kedepannya ada beberapa golongan yang membatasi berpikir agar gak keblinger. Dengan konsekuensi pergantian nasib kegelapan dengan Barat.

Kembali ke pertanyaan, bagaimana jika berpikir malah bikin Kita kafir? Sedangkan berpikir itu sendiri perintah dari Quran. Dan kafir, atau tidak beribadah pada Allah itu wujud kekufuran.

Jawaban sederhananya, disanalah kehebatan al-Quran. Menjadikan manusia yang tadinya mandeg karena tidak berpikir. Menjadi makhluk yang berperadaban dengan perintah berpikir.

Kurang apalagi jelasnya perintah berpikir ini dalam al-Quran? Ayat pertamanya saja:

"bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan"

Terlepas atas nama Tuhan atau atas nama apapun, membaca dalam artian luasnya bisa berarti berpikir merupakan perintah Tuhan paling pertama. Justru perintah pertama sebelum adanya tertib salat lima waktu. Dan masih banyak lagi ayat yang mengaskan pentingnya, perintah, juga sindiran untuk berpikir.

Kalau candaan salah seorang ustadz saya di pondok dulu afala ta'qilun? Dengan nada canda nan ngejek, hehe... Atau kama qala Syaikh Cak Lontong: Mikir!

Jadi, kalaupun dengan berpikir Kita "kafir". Itu jauh lebih mulia daripada beriman tapi stagnan. Beriman yang stagnan berpikir ini justru bisa jadi merupakan bentuk kekufuran pada nikmat berpikir. Terlepas dari kesadaran akan kemampuan berpikir. Toh batas kemampuan itu sendiri apakah memang batas atau justru batas yang diada-ada?

Manusia sebagai animal rationale sebagaimana Syaikh Aristoteles sampaikan atau masyhur dikalangan ulama Kitab Kuning hayawanun naatiqun yang artinya hewan yang berpikir. Dengan berpikir Kita sudah menjelaskan perbedaan Kita dengan makhluk lain yang tak berpikir. Kalau tak berpikir, merumputlah sana, demikian kasarnya.

Hanya saja, berpikir bukan suatu stelan bawaan begitu saja dari pabrikan Tuhan. Kalaupun iya, perlu ada maintainance agar tetap jernih dan berkembang menjadi akal sempurna. Disinilah pentingnya mempelajari filsafar sebagai ilmu (bukan produk berpikir) dan logika. Untuk menjaga dari kesalahan cara berpikir, bukan hasilnya.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang kepalang "kafir" dan tak sempat memperbaiki pola berpikirnya? Jawabannya ialah toh masalah kafir dan beriman itu hakikatnya kehendak Allah. Jangan takut! Allah yang akan bertanggung jawab dengan apa yang diperintahkannya. Kecuali sudah menemukan kebenaran tapi tetap menolak. Justru ini yang dinamakan Kafir alias menolak kebenaran.

Disini yang bertanggung jawab justru orang yang tau orang lain salah tapi tetap diam. Sama saja dengan ia tengah mellihat orang lain yang akan masuk ke jurang. Tapi ia biarkan orang itu meskipun tak berniat sehingga masuk ke jurang. Orang tau yang cuek inilah yang lebih buruk daripada kafir, karena memuluskan tugas setan.

Bukankah rahmat dan ampunannya lebih luas daripada siksaannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun