Di suatu perkampungan yang ada di tengah-tengah kota. Hiduplah seorang santri yang baru saja keluar dari pondok pesantrennya. Tentu saja semua orang tahu kalau dia dahulunya pernah mondok. Tak lupa, yang namanya masayarakat pasti menaruh harap jika si santri ini akan menjadi tokoh agama di kampung tersebut.
Sang santri sadar akan tanggung jawabnya itu. Maka ia selalu rajin berjamaah, mengumandangkan adzan, bahkan kemudian menjadi imam masjid. Hanya saja, masyarakat terus saja menuntut pada si santri untuk melakukan dan memimpin segala kegiatan keagamaan. Tapi eh tapi, si santri hanya dibayar dengan "terima kasih".
Memang sih memang, santri ini bukan berasal  dari keluarga yang miskin. Orang tuanya salah satu orang kaya di kampung tersebut, bahkan termasuk tokoh agama. Hanya saja, mereka berdua sudah meninggal, sedangkan saudara-saudaranya sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Maka pergilah si santri ini ke kota. Mencari kerja, karena mengabdi di masyarakat begitulah adanya. Lalu ia kembali menjadi takmir dari suatu masjid yang ada di perumahan yang lumayan mewah.
Terulanglah kembali masyarakat yang hanya bayar "terimakasih" itu. Hingga akhirnya dia memutuskan mencari pekerjaan lain. Karena sudah banyak tagihan pinjol, maka si santri ini terpaksa harus bekerja di suatu bar.
Memang pada awalnya ia kuat dan teguh pendirian dengan segala godaan yang ada di bar tersebut. Tapi lama kelamaan, ia terjebak dengan bisnis narkoba yang didalangi oleh pemilik bar.
Awalnya memang ia sedekahkan hasil bisnis narkoba tersebut pada kaum dhuafa. Lama kelamaan ia membagi hasilnya setengah untuk dia, setengah untuk orang-orang miskin. Begitu seterusnya sampai yang terakhir ia bagi secara perpuluhan.
Yang namanya bisnis dari uang haram, tentu saja (katanya) melahirkan perbuatan haram lainnya. Dari mulai mabuk-mabukan, sampai main wanita pernah ia jajali. Bahkan, untuk mengetahui kualitas barang dari narkoba yang ia jual, ia tentu harus ikut mencicipinya. Sampai-sampai ia jadi ketagihan dengan narkoba.
Setelah dirasa cukup sukses di kota tempat ia mencari uang. Dia tak lupa asal sehingga kembali ke kampungnya. Dengan kondisinya yang demikian, tentu saja dia sudah jauh dari ekspektasi awal masyarakat.
Dia di musuhi oleh masyarakat, dicaci dan dihina, hingga anak-anak kecil pun tahu kejelekan dari si santri itu. Tadinya ia ingin berbakti pada masyarakat dengan mendirikan tempat pendidikan dan partisipasi kegiatan warga lainnya. Tapi karena tidak terima dengan kelakuannya yang demikian. Masyarakat menerima bantuan sambil tetap mengolok-ngolok.