Mohon tunggu...
Mukhlis Syakir
Mukhlis Syakir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nyeruput dan Muntahin pikiran

Mahasiswa Pengangguran yang Gak Nganggur-nganggur amat

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sebuah Refleksi dari Film Hannah Arendt (2012): Memahami Kejahatan Bukan Berarti Memaafkan Kejahatan

18 Januari 2023   17:44 Diperbarui: 18 Januari 2023   17:53 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa tahun sudah kembali menjadi ganjil. Berubah dari genapnya 2022 menjadi ganjilnya 2023. Tahun berganti, tapi keganjilan berbagai kasus 2022 belum terselesaikan begitu saja. Banyak, bahkan untuk anak muda yang belum pada fase ngomongin kasus besar sebagai bahasan warung kopi sudah terlalu bosan mungkin mendengarnya.

Sebagai pembukaan saja, ada juga sebagian dari persidangan Ferdi Sambo yang sempat saya jadi tertarik. Yakni ketika Romo Magnus Suseno menjadi saksi ahli bagi Bharada Richard Eliezer. Beliau sempat menyampaikan bagaimana hukuman bagi seseorang yang berada di bawah tekanan orang lain untuk melakukan kejahatan harus disikapi.

Beliau mengutarakan ada sisi kesamaan antara apa yang terjadi pada Bharada RE ini dengan peristiwa Nazi Jerman. Kebetulan selain seorang ahli filsafat etika, Romo ini adalah orang jerman yang sengaja datang ke Indonesia sebagai wakil dari salah satu gereja disana. Sehingga kurang lebihnya juga ia mengetahui bagaimana seluk beluk dari peristiwa Nazi Jerman bahkan mengalaminya mungkin.

Peristiwa Nazi Jerman yang dimaksud ialah ketika ada salah seorang perwira militer Nazi bernama Adolf Enrichment yang berhasil selamat dari perang dunia kedua. 

Lalu yang bersangkutan ini disidang di Israel atas kejahatan Holocaust terhadap etnis Yahudi Jerman kala itu yang membunuh sekitar 4 sampai 6 juta korban. Sehingga orang-orang Yahudi yang selamat menggugat dia di sebuah persidangan di Yerusalem atas kejahatan besar tersebut.

Sebelum sampai kesana, sebagaimana dalam judul bahwa tulisan ini adalah refleksi dari film Hannah Arent yang tayang pada tahun 2012. Hanya sekedar refleksi subjektif penulis saja, bukan resensi yang sangat ilmiah dan menggunakan etika-etika perfilman yang saya pun tak tahu. Maka kita perlu rasanya sedikit mengenal Hannah Arent itu sendiri.

Hannah Arent adalah salah seorang filsuf perempuan keturunan Yahudi Jerman pada abad 20. Beliau filsuf dengan minat utama dibidang politik, sejarah, dan modernitas. Bagi yang doyan dengan filsafat, dan isu perselingkuhan, kebetulan beliau murid sekaligus "pacar simpanan" dari Martin Heidegger.

Akan tetapi mungkin akan terlalu panjang untuk membahas biografi lengkap dari Hannah Arent beserta berbagai pemikiran yang ia usung. Juga fokus dari tulisan ini ialah bagaimana penggambaran Hannah Arent yang ada di film debutan 2012 tersebut. Beserta korelasinya dengan judul yang saya usung.

Hannah Arendt dalam film digambarkan sudah tinggal di New York dan mengajar di salah satu Universitas yang ada disana. Kalau tak salah, kota New York merupakan kota tinggal ia yang terakhir setelah melanglang buana mencari tempat yang aman baginya untuk tinggal.

Awalnya, sebagaimana disampaikan sebelumnya, beliau lahir dan tinggal di Jerman. Singkat cerita, ketika partai Nazi mulai menguasai Jerman. Ia pergi meninggalkan negara kelahirannya dan pergi ke Perancis yang kala itu menjadi negara kontra Jerman pada perang dunia dua.

Selain kegiatan-kegiatan ilmiah yang dilakukannya di Prancis. Ia tak lupa pada saudara satu etnis dan satu nasibnya yang juga melarikan diri dari kekejaman Jerman di Prancis. Namun hal tersebut tak berlangsung lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun