Bagi pembaca yang sangat menjaga norma-norma ketimuran mungkin akan berkata dalam hati. “Bisa-bisanya ini kok ngomong jorok seenaknya”. Begitulah kiranya kalau saya suudzan pada isi pikiran dan hati orang.
Padahal dasar pengistilahan ini lahir dari, “siapa sih yang gak tertarik dengan seks”. Itu kan kebutuhan dasar manusia kalau kata Sigmund Freud. Juga upaya mempertahankan kelangsungan hidup manusia kalau mempercayai teori evolusi. Bahkan anugrah ilahiah dari Tuhan sebagai katanya “ibadah yang nikmat”.
Sedangkan bahasa telanjang, yang maksudnya kurang lebih Kalimat Hakikat. Itu ingin menjelaskan hakikat makna sebenarnya dari perkataan atau tulisan yang keluar. Tanpa harus berpikir terlebih dahulu sampai keburu laper, atau seperti tadi keburu kencing dicelana.
Mana mungkin mau terus ditutupi pas malam pertama toh. Kan gak bakalan kena-kena intinya. Mungkin memang bisa anak Anda lahir melalui proses bayi tabung. Tapi kan ada kebutuhan “itu”nya juga toh.
Jika kita masukkan dalam pembahasan bahasa, mana mungkin di kondisi darurat untuk minta tolong harus buat proposal dulu? Istilah sundanya “Kiamat manten” (keburu kiamat. Sanggatlah tidak bijak kan untuk mengatakan kata “tolong, saya jatuh”, lalu Kita mengatakan “duh badan saya dihack”.
Maka ada dua pertimbangan mengenai penggunaan bahasa seksi dan bahasa telanjang ini. Pertama, masalah birahi dan seleranya (tak usah diperpanjang karena saya bukan seksolog). Kedua, masalah kondisi yang dibutuhkan. Sehingga tak ada salahnya untuk berbeda selera, justru kedua bahasa majas dan hakikat ini penting dipelajari agar tak salah menggunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H