Melihat peristiwa ini dan dibayangin oleh pengalaman yang tidak mengenakkan. Ramai- ramai masyarakat Aceh mulai dari orang biasa  sampai mahasiswa menolak kehadiran mereka.  Penolakan ini mereka lakukan dengan  beramai -ramai mengusir kembali mereka dengan cara menolak  mereka kembali ke perahu dan meninggalkan provinsi Aceh. Â
Rombongan tersebut didominasi oleh kaum perempuan , anak- anak dan orang tua. Jika dilihat sekilas, Â ketika mereka mendarat pertama ada rasa pilu yang menyayat hati, ini terlepas dari budaya dan karakter yang mereka miliki.Â
Namun dalam beberapa hari ini mereka terus berdatangan dalam jumlah yang banyak, sehingga membuat kondisi  semakin sulit. Akhirnya,  para mahasiswa yang menjadi pintu utama yang punya rasa empati tinggi terhadap  mereka,  tiba- tiba berubah  menolak dan mengusir mereka. Ini memunculkan pertanyaan ada apa sebenarnya di balik pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh? Lalu mengapa provinsi Aceh yang menjadi sasaran?Â
Kemudian, mengapa mereka bisa semudah  masuk ke negara orang lain? Sejuta tanya bersarang dalam  pikran semua orang.  Selanjutnya,  hal paling merisaukan adalah sampai dimana tanggungjawab pemerintah khususnya Negara Republik Indonesia dalam menghadapi kondisi ini?Bukankah Aceh bahagian dari Indonesia yang berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman negara lain? Pertanyaan - pertanyaan di atas tidak menghendaki adanya jawaban dari pembaca. Satu yang perlu jadi pertimbangan  semua orang, Etiskah apabila pengungsi Rohingya di tolak?Â
Alasan Kemanusiaan
Setiap negara  tetap ada undang- undang rujukan untuk menangani  pengungsi yang masuk ke negaranya.  Di Indonesia undang- undang yang berkaitan dengan  pengungsi asing adalah UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang memandatkan untuk mengatur kemudian lewat Peraturan Presiden. Baru di tahun 2016 ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden RI No. 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri.https://lbhmakassar.org/liputan-kegiatan/memahami-perlindungan-hukum-bagi-pengungsi/
Jika merujuk pada undang-undang tersebut, setiap pengungsi asing yang singgah atau mencari perlindungan dari ancaman ketika berada di negerinya. Mengingat sebuah hubungan  internasional yang sudah dibangun berpuluh- puluh tahun.  Serta kita hidup di dunia tidak bisa mengurus diri  sendiri harus berdampingan dengan negara lain, maka tidak ada alasan untuk menolak mereka .Â
Selanjutnya, faktor kemanusiaan juga memberikan peluang bagi siapa saja untuk memperlakukan setiap pengungsi secara manusiawi. Hal ini dilakukan  sebagai pengangaana awal. Apabila negeri mereka sudah aman, mereka dipersilakan untuk kembali ke negara aslinya.  Tidak seperti pengungsi Rohingya yang meminta untuk menetap di bumi Serambi Mekah. Bahkan ada beberapa tokoh yang rela tanah dan kantornya dijadikan sebagai tempat penampungan mereka. Â
Akan berbeda apabila ada anggota dewan perwakilan rakyat dari Aceh yang meminta untuk diberikan pulau kepada mereka. Apakah pemberian pulau kepada pengungsi Rohingya sesuatu yang berlebihan? Bukankah masalah pengungsi asing yang masuk ke suatu negara menjadi tanggal jawab United Nation High Commissionerfor Refugess (UNHCR)? Â Â
Badan Perserikatan Bangsa Bangsa  PBB) sudah menjadikan masalah pengungsi ini sebagai masalah dunia, apalagi di zaman peperangan tak menentu seperti ini mereka dengan badan United Nation High Commissionerfor Refugess (UNHCR)lebih sigap menghadapi hal tersebut. Masalah  satu keyakinan atau satu akidah  juga perlu dijadikan peninjauan ulang. Bukan berarti karena sekeyakinan harus mengorbankan bangsa sendiri dengan menerima bamgsa lain. Hemat penulis, apabila itu yang dijadikan dasa berpikir, maka keyakinan seiman juga  perlu dipertanyakan. .Â