Bahasa adalah Representasi Intelektual.
Pendidikan adalah sebuah lembaga moral yang bertugas mengubah sejumlah paradigma melalu proses belajar.Â
Belajar merupakan sebuah usaha mengetahui dan menyelidiki berbagai perkembangan yang berhubungan dengan pola pikir, sehingga mendapatkan sebuah perubahan. Untuk mencapai hal tersebut membutuhkan usaha- usaha dalam rentang waktu yang panjang sehingga menghasilkan hasil yang gemilang.
Usaha- usaha untuk menyelidiki dan mengamati sesuatu yang merujuk pada sebuah simpulan membutuhkan bahasa sebagai penghela.Â
Sebagai penghela ilmu pengetahuan, bahasa mempunyai peran penting dalam membetuk intelektual seseorang. Orang cerdas intelektual akan muncul dari statemen pada saat menggunakan bahasa. Orang-orang  cerdas  intelektual, mereka lebih terampil dan selektif dalam menentukan diksi yang tepat untuk kepentingan berbahasa.
Faktor audien, kondisi, dan masalah yang dibicarakan ini akan menjadi pertimbangan utama sebelum mereka tampil prima di depan publik. Mungkin hal inilah yang membedakan dengan orang bodoh. Orang- orang bodoh lebih mengabdi pada batinya ketika berbicara di depan publik. Pada kondisi- kondisi tidak memungkinkan orang-orang bodoh yang mengabdi pada batin akan menggunakan kata makian yang tak sepantasnya digunakan.
Sedangkan orang-orang sudah biasa bergelut dengan perbedaan dan menjadikan pikiran sebagai sandaran, tetap menunjukkan jati diri tampil prima ketika berada di depan umum. Sandaran utama para intelektual adalah bukan perasaan. Bahasa yang digunakan pun lebih kepada objektifitas bukan subjektifitas.Â
Para intelektual yang menjadikan pikiran sebagai titik tumpu dan menyatakan pikiran lewat bahasa, mereka jauh lebih dewasa baik dalam berpikir bersikap dan bertindak. Setiap masalah yang muncul selalu diuji dengan pikiran dan data yang cukup. Bukan sebaliknya malah mengunakan ego pribadi dan membawa perasaan sehingga menyiksa tubuhnya sendiri.
Orang -orang bodoh yang mengedepankan emosional sebagai sembahan berpikir, mereka tidak mampu bertahan lewat debat panjang yang menguras pikiran. Oleh karena itu, mereka akan mengungkapkan pada momen yang lain sebagai aksi balas dendam demi memuaskan nafsu batinnya.
Orang - orang seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya akan memunculkan berbagai keputusan dalam bermasyarakat, karena mereka termasuk orang- orang yang labil dan tidak mampu memadukan antara emosional dan profesional.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe