Oleh: Mukhlis,S.Pd, M.Pd.
Suatu hari penulis berjalan pada koridor sekolah yang panjang dan tertata. Saat itu, suasana sekolah sedang pergantian jam pelajaran. Para siswa berdiri di pintu-pintu kelas sambil bercengkrama menunggu guru yang masuk pelajaran selanjutnya.Â
Seperti biasa, penulis mengumbar senyum sambil menyapa, "Assalamualaikum Nak!"
Sontak mereka menjawab "Waalaikumsalam Pak !", sambil menjulurkan tangan menyalami penulis.Â
Tiba-tiba terdengar suara dari beberapa siswa, "Pak! Kenapa Bapak tidak ngajar di kelas kami, Pak? Padahal bapak guru favorit kami lho Pak!"
Mendengar ungkapan tersebut dari anak-anak hebat, penulis seperti tersanjung.Â
Namun penulis membatin, "Kenapa saya jadi guru favorit ya, padahal saya tidak pernah mengajar di kelas mereka?"
Untuk menjawab pertanyaan tersebut yang berjuntai di pikiran penulis. Penulis membalikkan tanya, "Lho, kenapa bapak? Kalian favoritkan padahal bapak tidak mengajar di kelas kalian, Ayo?"
Kemudian dengan serentak mereka menjawab, "Kami dapat informasi dari kelas X, katanya bapak enak ngajarnya, gaul, santai, suka bercanda dan memahami kami sebagai remaja. Terus yang penting cara bapak menyajikan materi tidak monoton, mudah diterima, begitu pak. Ayo dong Pak! masuk kelas Kami sambil membujuk."
Itulah sepenggal dialog yang terjadi tanpa sengaja dengan siswa -siswa hebat di sekolah tempat penulis bertugas. Dialognya pendek dan sederhana, namun ternyata isinya mengungkapkan dan menggambarkan sebuah keresahan tentang teknik dan cara guru dalam menyajikan materi di kelas.Â
Wajar saja dan pantas apabila generasi Z ini berani membandingkan antara guru X dengan guru Y. Ini terjadi karena mereka sebagai subjek dalam pembelajaran. Lebih lanjut mereka bisa dianggap sebagai konsumen utama dalam produk materi, konsep dan keterampilan yang mereka inginkan.Â