Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.Â
Siapa sih yang tidak mengenal tari seudati. Salah satu tarian asal Aceh yang  kerap dimainkan di berbagai even dan pertandingan seni. Tarian ini sangat digemari oleh kaum lelaki. Permainan seudati adalah perpaduan antara seni tari dan seni suara yang juga disebut Saman.  Tarian ini merupakan tarian khas Aceh.  Tarian ini melambangkan kepribadian rakyat dengan sifat-sifat patriotik yang dikolaborasi dalam  bentuk heroik.  Pada  zaman Belanda tarian seni sempat dilarang untuk dimainkan dan dipentaskan.Â
Dalam pementasan, tarian ini  menggambarkan nuansa kegembiraan dan kemeriahan. Tarian  ini memiliki sejarah dan perkembangan cukup panjang. Menurut Kamala Devi Chattopadhyaya  (Wikipedia) tari adalah suatu insting atau desakan emosi di dalam diri manusia yang mendorong seseorang untuk menemukan ekspresi pada gerak-gerak ritmis.Â
Ditinjau  dari etimologi kata seudati berasal dari bahasa Arab yakni Syahadat yang memiliki dan  mengakui keesaan Allah sekaligus keyakinan sebagai syarat pertama bagi seseorang yang berkeyakinan Islam. Walaupun ada berkeyakinan bahwa kata seudati belum pasti berasal  dari bahasa Arab. Jika merunut pada perkembangan masyarakat Aceh mulai dari abad  ketujuh sampai saat ini.Â
Hampir semua cabang seni yang ada dalam masyarakat Aceh selalu berkaitan dengan Islam. Semua hasil  budaya dan seni  termasuk tarian selalu diisi dengan ritual -ritual Islam. Walaupun tidak berfungsi sebagai  sarana pemujaan terhadap Allah, akan tetapi dapat juga berfungsi sebagai syiar keagamaan  yang berkaitan  penegakan amar makruf dan mencegah kemungkaran.Â
Hal ini dapat dikaitkan  bahwa Provinsi Aceh menjadi salah satu daerah yang berhubungan langsung dengan para saudagar dari luar negeri termasuk Arab dan Turki. Interaksi  yang berlangsung beberapa abad,  lambat laun menjadi suatu akulturasi kebudayaan sekaligus keyakinan.  Dengan demikian, wajarlah kiranya kirab perjuangan  Aceh  dalam menegakkan Islam  telah dinobatkan sebagai Serambi Mekkah.Â
Kemudian bagaimana kaitan uraian ini dengan judul esai di atas? Tarian  seudati disinyalir muncul pertama kali di wilayah Pidie dan sebagian Utara Aceh. Tarian ini memiliki kesamaan dengan tari saman yakni sama-sama sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam. Seiring perkembangan ajaran Islam di wilayah Aceh, tarian ini kemudian dikenal baik oleh masyarakat yang berdomisili di Aceh secara umum.  Â
Berkaitan dengan judul esai  di atas bahwa Membangun Negeri  melalui  filosofi  Tarian Seudati sangat cocok dijadikan referensi dari segi filosofi.  Perjalanan  membangun negeri selama ini tampak  mata  sangat paradoks dan ambiguitas dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.Â
Hal ini  telah menjadikan  negeri ini  mengalami kegaduhan publik berkepanjangan. Kegaduhan ini dirasa sangat mengganggu rotasi pemerintahan, akibatnya  rakyat yang menjadi ujung tombak sebagai korban dari permasalahan ini. Negara yang seharusnya melindungi masyarakat sesuai dengan amanah undang -undang malah memantik kegaduhan dalam semua lini pembangunan.
Pesta demokrasi  selayaknya dianggap sebagai kegiatan musiman untuk merebut pucuk pimpinan, kini menjadi rutinitasnya sehari- hari dan dipertontonkan di muka publik. Penyebab utama dari hal di atas adalah tidak adanya sebuah kekuatan yang solid dalam mengelola negeri.
Jika mau mengadopsi gerakan-gerakan yang ada dalam tarian Seudati mungkin kegaduhan dapat  diminimalisir secara bertahap. Gerakan jenis tari kelompok ini dilakukan secara kompak dan inovatif. Beberapa  gerakan dan sedikit drama seolah ingin menggambarkan bahwa tarian seudati selain dapat digunakan sebagai sarana mengambil keputusan juga berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat yang menonton pertunjukan tersebut.
Pada hakikatnya Seudati dimainkan  oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama.   Satu  orang pemimpin yang disebut Syaikh, satu orang pembantu syeikh,  dan dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie (pendamping sebelah kiri), satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak (pendamping utama), dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi. Selain itu tarian ini juga menggunakan instrumen musik. Instrumen tersebut melekat pada badan si penari.Â
Kemudian bagaimana korelasinya dengan kepemimpinan negeri dalam mengambil keputusan dan kebijakan? Â Walaupun jumlah pemain tarian Seudati hanya delapan orang, Â ke delapan orang tersebut memiliki karakter yang heterogen. Â Melalui kekompakan para pemain dalam menggerakkan seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah, dan petikan jari dilakukan dengan serentak lewat satu komando. Gerakan ini mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan aneuk syahi. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah penuh semangat.Â
Selanjutnya ada beberapa gerakan yang tampak kaku. Kekakuan ini sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penari. Tepukan  tangan ke dada dan perut mengesankan  kesatria sebagai pemimpin. Tujuan utama dari pemain dan pemimpin seudati adalah menghibur pendengar ( rakyat dalam konteks sebuah negeri) Setiap personel dari group seudati selalu konsisten menjaga gerakan dan tugas masing- masing. Syekh  sebagai sang pemimpin  dalam pemerintahan seudati paham betul atas karakter  penari  dan gerakan yang dilakukan.Â
Ditinjau dari usia penari rata-rata didominasi oleh para remaja. Mungkin faktor inilah yang membuat tarian ini lebih apik jika dipentaskan di atas panggung. Filosofi lain yang dapat dijadikan  membangun negeri dari tarian  ini adalah ketika tarian ini diikutkan dalam sebuah kompetisi.Â
Biasanya mereka para syekh melalui  aneuk  syahi  menggunakan bahasa  dengan  kalimat-kalimat yang dapat menjatuhkan lawan di atas panggung. Bahasa yang digunakan begitu tajam memancing emosional.  Kata -kata makian terhadap lawan disusun begitu rapi dan membangkitkan gairah kemarahan yang  menusuk telinga sang lawan. Apabila  pertama kali  menonton tarian ini  pasti akan merasa terganggu dengan bahasa yang digunakan.  Anehnya setelah kompetisi selesai, mereka para kontestan  saling merangkul, ngopi bareng, dan  diskusi seperti tidak terjadi suatu masalah apa yang tergambar di atas panggung. Bagi mereka apa yang dilakukan di atas panggung hanyalah sebuah pementasan untuk menghibur penonton. Dalam kompetisi biasa tidak tampak siapa yang menang dan siapa yang kalah.Â
Proses politik di negeri ini begitu kental dengan trik saling menjatuhkan. Hal ini berlangsung begitu lama, bahkan sampai pada merumuskan keputusan terhadap kehidupan rakyat. Dalam tarian seudati tidak didapati masalah seperti ini. Urgenitas menghibur  penonton dijadikan tujuan utama dalam menari. Seandainya filosofi ini diterapkan dalam birokrasi kepemimpinan, penulis berpikir kegaduhan  berliku yang mengganggu ruang -ruang publik dapat dihilangkan.Â
Mengingat ini adalah momen sumpah pemuda. Apa salahnya menjadikan momen ini sebagai tonggak awal dalam mengubah paradigma membangun negeri dengan mengambil filosofi pada tarian seudati dari Aceh.  Sejak Indonesia ini berdiri ternyata Aceh bukan hanya memberikan sumbangan terbesar dalam pembangunan bangsa ini. Dalam  bidang seni pun Aceh masih memberi andil yang luar biasa.  Sebagai penutup walaupun tarian seudati terdiri dari delapan personel ternyata  filosofinya mampu memberikan peranan yang luar biasa dalam pembangunan bangsa.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H