Pada hakikatnya Seudati dimainkan  oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama.   Satu  orang pemimpin yang disebut Syaikh, satu orang pembantu syeikh,  dan dua orang pembantu di sebelah kiri yang disebut apeetwie (pendamping sebelah kiri), satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak (pendamping utama), dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang penyanyi sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi. Selain itu tarian ini juga menggunakan instrumen musik. Instrumen tersebut melekat pada badan si penari.Â
Kemudian bagaimana korelasinya dengan kepemimpinan negeri dalam mengambil keputusan dan kebijakan? Â Walaupun jumlah pemain tarian Seudati hanya delapan orang, Â ke delapan orang tersebut memiliki karakter yang heterogen. Â Melalui kekompakan para pemain dalam menggerakkan seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah, dan petikan jari dilakukan dengan serentak lewat satu komando. Gerakan ini mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan aneuk syahi. Bebarapa gerakan tersebut cukup dinamis dan lincah penuh semangat.Â
Selanjutnya ada beberapa gerakan yang tampak kaku. Kekakuan ini sebenarnya memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan si penari. Tepukan  tangan ke dada dan perut mengesankan  kesatria sebagai pemimpin. Tujuan utama dari pemain dan pemimpin seudati adalah menghibur pendengar ( rakyat dalam konteks sebuah negeri) Setiap personel dari group seudati selalu konsisten menjaga gerakan dan tugas masing- masing. Syekh  sebagai sang pemimpin  dalam pemerintahan seudati paham betul atas karakter  penari  dan gerakan yang dilakukan.Â
Ditinjau dari usia penari rata-rata didominasi oleh para remaja. Mungkin faktor inilah yang membuat tarian ini lebih apik jika dipentaskan di atas panggung. Filosofi lain yang dapat dijadikan  membangun negeri dari tarian  ini adalah ketika tarian ini diikutkan dalam sebuah kompetisi.Â
Biasanya mereka para syekh melalui  aneuk  syahi  menggunakan bahasa  dengan  kalimat-kalimat yang dapat menjatuhkan lawan di atas panggung. Bahasa yang digunakan begitu tajam memancing emosional.  Kata -kata makian terhadap lawan disusun begitu rapi dan membangkitkan gairah kemarahan yang  menusuk telinga sang lawan. Apabila  pertama kali  menonton tarian ini  pasti akan merasa terganggu dengan bahasa yang digunakan.  Anehnya setelah kompetisi selesai, mereka para kontestan  saling merangkul, ngopi bareng, dan  diskusi seperti tidak terjadi suatu masalah apa yang tergambar di atas panggung. Bagi mereka apa yang dilakukan di atas panggung hanyalah sebuah pementasan untuk menghibur penonton. Dalam kompetisi biasa tidak tampak siapa yang menang dan siapa yang kalah.Â
Proses politik di negeri ini begitu kental dengan trik saling menjatuhkan. Hal ini berlangsung begitu lama, bahkan sampai pada merumuskan keputusan terhadap kehidupan rakyat. Dalam tarian seudati tidak didapati masalah seperti ini. Urgenitas menghibur  penonton dijadikan tujuan utama dalam menari. Seandainya filosofi ini diterapkan dalam birokrasi kepemimpinan, penulis berpikir kegaduhan  berliku yang mengganggu ruang -ruang publik dapat dihilangkan.Â
Mengingat ini adalah momen sumpah pemuda. Apa salahnya menjadikan momen ini sebagai tonggak awal dalam mengubah paradigma membangun negeri dengan mengambil filosofi pada tarian seudati dari Aceh.  Sejak Indonesia ini berdiri ternyata Aceh bukan hanya memberikan sumbangan terbesar dalam pembangunan bangsa ini. Dalam  bidang seni pun Aceh masih memberi andil yang luar biasa.  Sebagai penutup walaupun tarian seudati terdiri dari delapan personel ternyata  filosofinya mampu memberikan peranan yang luar biasa dalam pembangunan bangsa.
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi IGI Wilayah Aceh dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H