Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd.Â
Pertanyaaan pada judul esai di atas mengandung jawaban bercabang.Dilihat dari pertanyaan tersebut sudah pasti menuai kontroversi di antara pemerhati sastra di Indonesia.Terdapat dua jawaban dapat dilihat kasat mata, yaitu sastra berkiblat ke Eropa dan kedua ke Timur Tengah. Kedua kiblat tersebut masing-masing mempunyai referensi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari literasi, pakar dan rujukan yang berlawanan antara kedua kiblat.
Kita mulai dari kilblat sastra yang mengarah ke Eropa. Sejak munculnya peradaban sastra Indonesia ditandai dengan angkatan pujangga lama sekitar tahun 1920 sampai 1930. Pada periode ini muncullah tokoh sekelas Marah Rusli dengan novel lengendaris , Siti Nurbaya. Kisah novel ini masih membekas dalam benak para pencinta sastra Indonesia. Novel mengeritik budaya kawin paksa yang ada dalam masyarakat Minangkabau.
Ketika pujangga lama, penjajahan Belanda masih mendominasi di tanah air, kebanyakan para sastrawan kita membaca literasi sastra dari Belanda atau Eropa lainnya. Pengaruh penjajahan dalam periode ini telah mewarnai wajah sastra Indonesia. Kajian kajian Profesor A Teuw yang berkebangsaan Belanda memberi sinyal tentang kiblat sastra indonesia pada masa 1945. Penyuka dan pengkaji puisi -puisi Amir Hamzah sangat mempengaruhi pola pikir para sassastrawan kita. Kehadiran A. Tew di tanah jawa mengumpulkan literasi kuno telah mempengaruhi cara berpikir, bersilkap dalam memahami dan menulis genre sastra. Nah hal lain yang menonjol pada periode ini adalah aliran yang dianut masih berkutat pada romantisme dan idealisme. Bukankah kedua aliran ini termasuk kedalam aliran sastra yang ada dalam sastra bara?
Dengan demikian membuktikan bahwa sastra Indonesia pada masa penjajahan sudah mulai mengekor pada sastra barat. Ada kisah menarik dari seorang Khairil Anwar sebagai tokoh kita. Ketika ia menyelinap secara diam -- diam di sebuah perpustakaan mencuri sebuah buku. Dengan semangat berapi- api ia buka buku tersebut ketika berada di luar perpustakaan. Ia membathin, inilah buku sastra terhebat dari belanda yang diidam- idamkan selama ini. Akan tetapi,alangkah terkejutnya dia, ketika dibuka ternyata bukan buku yang diincarnya, melainkan sebuah kitab suci suatu agama.
Dalam perjalanan karir sastranya Khairil Anwar, Rifain Afin, dan Asrul Sani selalu menyerap teori dan kajian sastra dari bahasa Inggris dan bahasa belanda. Selanjutnya, sampai hari ini para dosen dan professor sastra Indonesia yang menjadi agen ilmu pengetahuan juga masih memuja alira-aliran barat seperti aliran Romantic, strukturalisme, dan alirn Marxisme dalam mengkaji dan menilai sebuah karya. Ada juga aliran formalism dari Rusia yang telah mendokrinisasi pemikiran para ilmuan sastra di indonesia.
Lalu bagaimana dengan kiblat sastra yang mengarah ke Timur Tengah? Seperti dikemukan di awal esai ini bahwa lain padang lain belalang, lain lubug lain ikannya. Sastra yang berkiblat ke Timur Tengah secara umum dipengaruhi oleh sastra melayu klasik. Sastra melayu notabene nya menyampaikan nasihat dan pesan pesan agama, baik dalam mengatur manusia dengan manusia ataupun manusia dengan Allah sang pencipta.
Kita tidak bisa menafikan bahwa bahasa sastra yang berasal dari Arab ini menggunakan Alquran dan Hadis sebagai sumber dalam menyampaikan semua pengalaman bathianiah. Muncullah penyair penyair Islam yang dikenal dunia seperti
Muhammad Qosim Al-Harisi,Jalaluddin Arrumi (Persi) dan Omar Khayyam. Di Asia Tenggara muncul Hamzah Fansuri dan Wali songo dengan karya yang luar biasa.
Para penyair Islam telah menjadikan sastra dalam berbagai genre sebagai media dakwah untuk mengajak pada kebajikan. Bahasa yang digunakan oleh penyair penyair Islam sangat estetik, karena mereka mengangkat dan terispirasi dari bahasa Alquran yang mempunyai nilai esteitka sastra tingkat tinggi. Untuk membuktikan bahwa bahasa Alquran punya nilai sastra tertinggi di antara bahasa lain, penulis mengutip salah satu ayat suci Alquran sebagai berikut,
:
Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Q.S. al-Baqarah: 223]
Redaksi bahasa dalam ayat di atas, mempunyai estetika sastra yang luar biasa. Dalam hal ini Allah sang pemilik manusia mengumpamakan para istri sebagai kebun tempat becocok tanah ketika betada di dunia. Artnya, para laki- laki wajib memilih isteri- isteri yang taat beragama dan sah/ halal baginya setelah mengikuti ketentuan syariah. Masya Alllah..! Begitu indah tautan dan perumpamaan yang dilukiskan dalam ayat tersebut. Bahasa berestetika sastra tinggi seperti ini banyak digunakan oleh penyair penyair sekelas Buya Hamka, Ali Hasyimi, Mustofo Bisri, dan Emha Ainun Najib.
Dari uraian panjang terjawab sudah kemana kiblat sastra kita saat ini. Kita punya 87 persen penganut agama Islam. Mengapa kita masih plin -plan dalam menentukan arah dan haluan dalam berkarya? Dengan kondisi bangsa yang carut marut seperti masih layakkah kita berdiam diri menjadi pengamat dengan bekal kebarat -baratan. Bukankah karya sastra mampu mengubah dan menenggelamkan sebuah negeri? Pena kita dapat menembus berjuta otak dalam kepala, tapi peluru hanya mampu mebembus satu nyawa.
Mari kita ganti arah kiblat sesuai keyakinan yang Qurani bukan ke barat baratan. Jangan menyalahkan pendahulu kita, mari kita arahkan layar mengikuti arah angin.
 Penulis  adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H