Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Q.S. al-Baqarah: 223]
Redaksi bahasa dalam ayat di atas, mempunyai estetika sastra yang luar biasa. Dalam hal ini Allah sang pemilik manusia mengumpamakan para istri sebagai kebun tempat becocok tanah ketika betada di dunia. Artnya, para laki- laki wajib memilih isteri- isteri yang taat beragama dan sah/ halal baginya setelah mengikuti ketentuan syariah. Masya Alllah..! Begitu indah tautan dan perumpamaan yang dilukiskan dalam ayat tersebut. Bahasa berestetika sastra tinggi seperti ini banyak digunakan oleh penyair penyair sekelas Buya Hamka, Ali Hasyimi, Mustofo Bisri, dan Emha Ainun Najib.
Dari uraian panjang terjawab sudah kemana kiblat sastra kita saat ini. Kita punya 87 persen penganut agama Islam. Mengapa kita masih plin -plan dalam menentukan arah dan haluan dalam berkarya? Dengan kondisi bangsa yang carut marut seperti masih layakkah kita berdiam diri menjadi pengamat dengan bekal kebarat -baratan. Bukankah karya sastra mampu mengubah dan menenggelamkan sebuah negeri? Pena kita dapat menembus berjuta otak dalam kepala, tapi peluru hanya mampu mebembus satu nyawa.
Mari kita ganti arah kiblat sesuai keyakinan yang Qurani bukan ke barat baratan. Jangan menyalahkan pendahulu kita, mari kita arahkan layar mengikuti arah angin.
 Penulis  adalah Pemimpin Redaksi Jurnal Aceh Edukasi dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H