Mohon tunggu...
Mukhlisin_Sby
Mukhlisin_Sby Mohon Tunggu... -

Mahasiswa yang di Hukum... masih berada di antara ambiguitas dan ambivalensi...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gafatar, Spiritual Shock dan Kopi Mirna

16 Februari 2016   09:02 Diperbarui: 16 Februari 2016   12:18 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik sekali membaca pemikiran-pemikiran dahsyat Gafatar/Millah Abraham dari sudut pandang penganutnya; tentang kebenaran universal, tentang pengabdian kepada tuhan, tentang pergerakan untuk ketahanan pangan, perbaikan moralitas, perbaikan kerusakan masyarakat, penegakan pancasila, gotong royong, dan sebagainya. Pemahaman saya tentang Gafatar akhirnya mengalami titik terang....

Pemikiran-pemikiran tentang konsep pembangunan Indonesia tersebut saya rasa sangat positif, apalagi konsep tersebut bukan hanya sekedar angan-angan kosong, tetapi disertai “action” nyata yang sangat konstruktif, berbeda dengan pemahaman kelompok teroris yang sangat destruktif. Secara kasat mata, akan sulit sekali untuk menilai bahwa ada aspek negatif dari gerakan ini. Karena konsep mereka memang banyak benarnya...

Memanfaatkan Spiritual Shock

Konsep-konsep ketuhanan sebenarnya merupakan tambang emas, jika digali, kita akan menemukan banyak hal yang berharga bagi kehidupan. Kita akan tercengang jika mengetahui kebenaran tentang konsep ketuhanan, pada titik tertentu kita akan rela mengorbankan apa saja demi Tuhan kita. Inilah yang saya sebut sebagai spiritual shock, yaitu ketercengangan terhadap konsep ketuhanan yang kemudian memberi dorongan untuk melakukan apa saja dan mengorbankan apa saja, termasuk harta, tahta, pasangan, orang tua, kompasiana, dan lain sebainya.

Spiritual shock ini merupakan instrumen yang paling ampuh untuk menggerakkan manusia. Para organisasi teroris menggunakan insrtumen ini untuk menggerakkan para pengantin mereka dalam konser-konsernya. Beberapa organisasi agama lain juga bisa menggunakan ini untuk menggerakkan para kadernya, seperti untuk perjuangan politik, perjuangan dakwah, dan sebagainya. Gafatar adalah salah satu organisasi yang memiliki kemampuan menggunakan instrumen ini.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan spiritual shock ini, karena hal itu mengindikasikan kedalaman pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai ketuhanan. Bahkan para nabi yang sukses, seperti Nabi Muhammad, juga memiliki kemampuan ini melalui dakwahnya. Sebagai umat beragama kita juga dituntut untuk memiliki pemahaman yang dalam tentang Tuhan kita. Dan dalam ilmu psikologi, kecerdasan spiritual berpengaruh sangat signifikan terhadap kesuksesan manusia. (Danah Zohar & Ian Marshall: 2000)

Yang menjadi masalah dalam spiritual shock ini adalah konsep ajaran dan pengamalannya (aspek amaliah). Karena orang yang sudah mengalami spiritual shock, membutuhkan aktualisasi untuk membuktikan pengabdian dan ketundukannya. Titik inilah yang sering dimanfaatkan organisasi-organisasi tertentu untuk kepentingannya, seperti organisasi teroris yang memanfaatkan para kadernya untuk melakukan perbuatan-perbuatan teror, sebagai bentuk ketundukan mereka dan pengabdian terhadap Tuhan.

Disinilah kemudian kebaikan (nilai-nilai ketuhanan) bercampur dengan keburukan (konsep ajaran dan amaliah yang keliru). Maka percampuran kebaikan dan keburukan ini menjadi suatu formulasi yang mematikan. Seperti halnya “kopi” yang baik jika dicampur “sianida” yang buruk, akan menjadi formulasi yang mematikan dalam “Kopi Mirna”.

Keburukan yang tidak tercampur dengan kebaikan, adalah bahaya yang nyata yang dapat dengan mudah dihindari. Berbeda dengan keburukan yang terbalut kebaikan...akan tampak memikat...dan memancing banyak orang untuk mendekat. Sianida biasa tentu tidak ada yang mau meminum. Tetapi jika dicampur kopi, pasti bisa banyak yang tertipu, mbak Mirna salah satunya....

Kembali ke Gafatar....

Kemampuan Gafatar dalam menumbuhkan spiritual shock memang luar biasa, sangat ilmiah. Bahkan level Ustad Pesantren, Guru Ngaji, Kiai Haji, Ustad Seleb, dan sebagainya pun, belum tentu mampu menumbuhkan spiritual shock untuk kemudian menghasilkan kader yang memiliki pemahaman dan penghayatan ketuhanan yang dalam. Sekali lagi yang menjadi masalah bukan pemahaman dan penghayatan ketuhanannya, yang menjadi masalah adalah konsep ajaran dan amaliahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun