Mohon tunggu...
MUKHLISHAH SYAWALIYAH
MUKHLISHAH SYAWALIYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010129

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjadi Sarjana dan Menciptakan Etika Kebahagiaan Aristoteles

9 Oktober 2024   23:10 Diperbarui: 10 Oktober 2024   03:29 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PPT Modul Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul Dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si CIFM., CIABV., CIABG

Menjadi seorang sarjana tidak hanya soal mendapatkan gelar atau pekerjaan yang diidamkan, tetapi lebih dari itu, pendidikan tinggi juga menuntun seseorang untuk memahami makna kebahagiaan yang lebih mendalam. 

Dalam konteks ini, filsafat etika Aristoteles menawarkan perspektif yang kaya dan relevan bagi setiap orang, khususnya bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan formal di perguruan tinggi.

 Etika kebahagiaan Aristoteles menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan (eudaimonia), yang tidak semata-mata terletak pada pencapaian materi atau kesenangan fisik, tetapi lebih pada aktualisasi diri dan hidup secara kebajikan. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana menjadi sarjana sejalan dengan etika kebahagiaan Aristoteles serta bagaimana konsep-konsep tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pemikiran Aristoteles, kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang datang secara kebetulan atau hasil dari nasib baik. Sebaliknya, kebahagiaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan melalui tindakan-tindakan yang konsisten dengan kebajikan. 

Dalam konteks menjadi sarjana, perjalanan pendidikan bukanlah sekadar tentang memperoleh informasi dan keterampilan teknis. Sebaliknya, proses ini melibatkan pembentukan karakter dan pengembangan kemampuan untuk berpikir kritis serta membuat keputusan yang baik.

 Seorang sarjana yang menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip kebajikan Aristoteles akan lebih mungkin mencapai kebahagiaan yang berkelanjutan, karena ia tidak hanya fokus pada hasil akhir seperti karier atau kekayaan, tetapi juga pada cara bagaimana ia menjalani proses tersebut.

Pendidikan tinggi juga memberi kesempatan bagi seseorang untuk merefleksikan makna hidup dan perannya dalam masyarakat. 

Seorang sarjana yang memahami prinsip-prinsip kebahagiaan Aristoteles akan sadar bahwa hidup yang baik adalah hidup yang berorientasi pada keseimbangan, baik dalam hal intelektual maupun emosional. Ini mencakup kemampuan untuk mengendalikan diri, bersikap adil, serta berbuat baik kepada orang lain.

 Pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan individu untuk sukses secara profesional, tetapi juga untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan bermoral, sejalan dengan cita-cita kebajikan yang diutarakan oleh Aristoteles.

Apa Itu Etika Kebahagiaan Aristoteles?

Etika kebahagiaan Aristoteles didasarkan pada pemikiran bahwa setiap tindakan manusia diarahkan pada suatu tujuan akhir, yang tidak lain adalah kebahagiaan. Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah hal yang sederhana seperti merasakan kesenangan atau memiliki kekayaan, melainkan suatu kondisi yang melibatkan pencapaian potensi tertinggi manusia. 

Kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles adalah "eudaimonia", yang berarti suatu keadaan hidup yang baik, atau mencapai kesejahteraan dan pemenuhan diri.

Menurut Aristoteles, setiap individu memiliki fungsi atau peran unik dalam hidup, dan kebahagiaan diperoleh ketika seseorang mampu menjalankan peran tersebut dengan baik. Sama seperti sebuah alat yang baik ketika berfungsi sesuai dengan tujuannya, manusia juga akan merasa bahagia ketika mampu mencapai tujuan hidupnya. 

Kebahagiaan sejati, menurut Aristoteles, bukanlah sekadar kenikmatan sementara, tetapi sebuah kondisi yang stabil dan berkelanjutan. Ini terjadi ketika seseorang menjalankan kehidupan yang penuh kebajikan, di mana tindakan-tindakannya sejalan dengan rasionalitas dan moralitas.

Menjadi sarjana, dalam hal ini, dapat dipandang sebagai salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan. Melalui pendidikan, seseorang mempelajari berbagai keterampilan dan pengetahuan yang memungkinkannya memahami peran dalam masyarakat dan dunia secara keseluruhan. Dengan kata lain, pendidikan tinggi bukan sekadar tentang memperoleh pengetahuan teknis atau profesional, melainkan juga melibatkan pembentukan karakter dan kemampuan untuk hidup secara bijaksana dan bermoral.

Mengapa Etika Kebahagiaan Relevan Bagi Sarjana?

Ketika seseorang menempuh pendidikan tinggi, ia tidak hanya belajar tentang bidang keahlian tertentu, tetapi juga memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan, etika, dan peran dalam masyarakat. 

Dalam konteks etika kebahagiaan Aristoteles, pendidikan ini membantu seseorang untuk memahami bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan bermakna. 

Menjadi sarjana berarti memiliki kapasitas intelektual untuk memikirkan secara kritis tentang apa yang membuat hidup bermakna, dan ini sangat berkaitan dengan kebajikan dan eudaimonia.

Aristoteles membagi kebajikan ke dalam dua kategori utama: kebajikan intelektual dan kebajikan moral. Kebajikan intelektual melibatkan penggunaan akal dan pengetahuan, sementara kebajikan moral berkaitan dengan karakter dan tindakan yang sesuai dengan prinsip moralitas.

 Menjadi sarjana, dalam pandangan Aristoteles, adalah salah satu cara untuk mengembangkan kebajikan intelektual, karena melalui pendidikan tinggi seseorang dapat memupuk kemampuan berpikir kritis, analisis, dan penilaian moral yang baik.

Namun, kebahagiaan menurut Aristoteles tidak hanya datang dari pengetahuan, tetapi juga dari penerapan kebajikan moral dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan tidak akan lengkap jika hanya membekali seseorang dengan pengetahuan tanpa memberikan pemahaman tentang bagaimana seharusnya hidup secara etis. 

Oleh karena itu, pendidikan tinggi juga harus mengajarkan nilai-nilai kebajikan moral seperti kejujuran, keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan.

Dalam kehidupan modern, sarjana sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan etis yang memerlukan kebijaksanaan dan penilaian moral yang baik. Misalnya, seorang sarjana ekonomi mungkin harus mempertimbangkan dampak sosial dari keputusan-keputusan keuangan yang dibuat, atau seorang sarjana ilmu politik harus mempertimbangkan aspek keadilan dalam kebijakan publik. 

Dalam konteks ini, konsep kebajikan moral Aristoteles sangat relevan karena membantu para sarjana untuk memahami bagaimana tindakan mereka dapat berkontribusi pada kesejahteraan diri sendiri dan masyarakat.

Bagaimana Menerapkan Etika Kebahagiaan Aristoteles dalam Kehidupan Sarjana?

Menerapkan etika kebahagiaan Aristoteles dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang sarjana dapat dimulai dengan memahami dan menjalani kehidupan yang berlandaskan kebajikan. Ada beberapa cara untuk menerapkan konsep ini:

  1. Mengembangkan Kebajikan Intelektual dan Moral: Menjadi sarjana berarti memiliki tanggung jawab untuk terus mengembangkan kebajikan intelektual dan moral. Pendidikan tinggi adalah kesempatan untuk memupuk kemampuan berpikir kritis, analitis, dan etis. Sebagai contoh, seorang sarjana seharusnya mampu mempertimbangkan berbagai sudut pandang dalam suatu permasalahan dan membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang benar.
  2. Menjalankan Hidup Sesuai dengan Tujuan Tertinggi: Aristoteles berpendapat bahwa setiap manusia memiliki tujuan hidup tertinggi yang dapat dicapai melalui pengembangan potensi diri dan kebajikan. Bagi seorang sarjana, ini berarti bahwa pendidikan bukan hanya alat untuk mendapatkan pekerjaan atau status sosial, tetapi juga sarana untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan bermanfaat bagi orang lain.
  3. Mempraktikkan Kebijaksanaan (Phronesis): Kebijaksanaan praktis atau "phronesis" adalah salah satu kebajikan utama dalam etika Aristoteles, yang melibatkan kemampuan untuk membuat keputusan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, seorang sarjana harus mampu menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pendidikan untuk membuat keputusan yang bijaksana, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional.
  4. Membangun Komunitas yang Baik: Aristoteles juga percaya bahwa manusia adalah makhluk sosial, dan kebahagiaan tidak dapat dicapai secara terisolasi. Oleh karena itu, seorang sarjana harus berusaha untuk berkontribusi pada masyarakat dan membangun komunitas yang baik. Ini dapat dilakukan melalui keterlibatan dalam kegiatan sosial, memberikan kontribusi ilmiah yang bermanfaat bagi masyarakat, atau bahkan hanya dengan menjalani kehidupan yang penuh integritas dan kebajikan.
  5. Menghargai Proses dan Bukan Hanya Hasil Akhir: Salah satu pelajaran penting dari etika Aristoteles adalah bahwa kebahagiaan tidak hanya berasal dari pencapaian hasil akhir, tetapi juga dari proses untuk mencapainya. Menjadi sarjana adalah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan dan pembelajaran, dan proses ini sendiri merupakan bagian dari kebahagiaan. Seorang sarjana harus mampu menikmati proses belajar dan tumbuh, bukan hanya fokus pada gelar atau status yang akan diperoleh.

Mengapa Etika Kebahagiaan Penting bagi Sarjana di Dunia Modern?

Di dunia modern yang penuh dengan tekanan dan persaingan, konsep kebahagiaan sering kali dihubungkan dengan kesuksesan material, kekayaan, atau popularitas. Namun, dalam pandangan Aristoteles, kebahagiaan sejati lebih dari sekadar pencapaian luar. Ini melibatkan pemahaman tentang diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan kehidupan yang bermakna.

 Sarjana modern sering kali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi. Dalam situasi seperti ini, etika kebahagiaan Aristoteles dapat menjadi panduan yang berharga.

Sebagai contoh, seorang sarjana yang mengejar kesuksesan karier mungkin dihadapkan pada dilema etis seperti memilih antara bekerja untuk perusahaan yang tidak memiliki etika bisnis yang baik atau mempertahankan integritas moralnya. 

Dalam situasi ini, pemahaman tentang kebajikan dan kebahagiaan yang diajarkan oleh Aristoteles dapat membantu seseorang membuat keputusan yang tidak hanya berdasarkan keuntungan materi, tetapi juga pada apa yang benar secara moral dan sesuai dengan tujuan hidup tertinggi.

Dengan memahami bahwa kebahagiaan sejati datang dari menjalani kehidupan yang penuh kebajikan, seorang sarjana dapat terhindar dari tekanan untuk mengejar kesuksesan semu dan sebaliknya fokus pada pengembangan diri dan kontribusi positif bagi masyarakat. 

Pada akhirnya, pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya tentang pencapaian intelektual, tetapi juga tentang menciptakan manusia yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih bahagia dalam arti yang sebenarnya.

Dalam kesimpulannya, etika kebahagiaan Aristoteles memberikan panduan yang penting bagi setiap sarjana untuk memahami makna kebahagiaan yang sejati dan bagaimana mencapainya. Menjadi sarjana bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga soal bagaimana hidup dengan kebajikan, berpikir secara kritis, dan berkontribusi pada kesejahteraan diri sendiri dan orang lain. 

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, seorang sarjana dapat menemukan kebahagiaan sejati yang tidak hanya bertahan dalam jangka pendek, tetapi juga dalam kehidupan yang lebih luas dan bermakna.

Selain itu, etika kebahagiaan Aristoteles juga mengajarkan pentingnya keseimbangan atau mean dalam menjalani kehidupan. Aristoteles percaya bahwa kebajikan terletak di antara dua ekstrem: kekurangan dan kelebihan. Sebagai contoh, keberanian berada di antara rasa takut yang berlebihan dan keberanian yang sembrono. 

Prinsip ini relevan dalam kehidupan seorang sarjana, di mana sering kali muncul tekanan untuk mencapai kesuksesan dengan cepat atau mengorbankan hal-hal penting seperti kesehatan mental atau hubungan pribadi.

 Dengan menerapkan prinsip keseimbangan, seorang sarjana dapat belajar bagaimana mengelola waktu, emosi, dan tanggung jawab dengan cara yang sehat dan berkelanjutan, sehingga ia tidak hanya sukses dalam karier tetapi juga menjalani kehidupan yang harmonis dan bahagia.

Pada akhirnya, kebahagiaan dalam pandangan Aristoteles bukanlah tujuan yang dapat dicapai melalui satu tindakan atau pencapaian semata, melainkan hasil dari kehidupan yang konsisten dengan nilai-nilai kebajikan. 

Dalam dunia yang terus berubah dan penuh tantangan, seorang sarjana yang memahami etika kebahagiaan ini akan lebih mampu beradaptasi dengan perubahan, tetap fokus pada apa yang benar-benar penting, dan terus mengejar perkembangan pribadi.

Dengan demikian, mereka tidak hanya akan menemukan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri, tetapi juga menjadi agen perubahan yang positif bagi masyarakat di sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun