Segera saya panggil perawat dan dokter jaga, dan dengan serangkaian tindakan, membenarkan bahwa Ibu sudah menghadap Allah SWT. Sayapun segera menelpon Mbak Dini, yang tidak sempat bertemu ibu hingga beliau meninggal. Juga saya hubungi Mas Dodo, kakak sepupu yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari rumah sakit, dan tidak lama beliau muncul. Begitu pula Budhe Ismi yang segera tiba di RS. Istri saya, dan beberapa orang keluarga yang teramat baik segera pula tiba di RS.
Setelah jenazah Ibu dibawa ke kamar Jenazah, lalu kami mandikan, kami kafani, dan lalu kami sholatkan. Sambil menunggu ambulan yang dipersiapkan oleh Mas Basuki, keluarga yang akan mengantarkan juga bersiap-siap. Sekitar jam 24 ambulan sudah bergerak menuju rumah saya di kawasan Juanda, lalu beristirahat sejenak sembari bersiap-siap menuju Pacitan. Mendekati jam 2 pagi, ambulan bergerak ke Pacitan dengan rute Surabaya – Mojokerto – Jombang – Madiun – Ponorogo – Pacitan Kota – Tulakan. Baru di perjalanan inilah saya bisa menangis, di samping Ibunda yang sudah mendahului. Menangis karena merasa pengabdian dan bakti saya untuk beliau masih sangat jauh dari kata sempurna. Allahummaghfir lanaa..
Alhamdulillah, jam 7.30 setelah memakan waktu perjalanan 5 jam setengah kami sudah tiba di ruma. Menjelang jam 10, jenazah diberangkatkan menuju pemakaman yang sudah disiapkan oleh saudara dan tetangga yang baik hati. Sayapun bisa masuk ke dalam liang lahat bersama Mas Slamet dan Wika untuk menerima jasad Ibu terakhir kalinya. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar.
Pelajaran yang Bisa diambil
Dari rangkaian gangguan kesehatan yang dialami Ibu, saya mengambil pelajaran bahwa sebersih, sejinak, maupun se-higienis apapun binatang dengan perawatan dimandikan, dicuci, maupun divaksin, selayaknya kita manusia tidak hidup bersama dalam satu rumah. Virus dan bakteri yang merupakan jasad renik dan menumpang hidup di binatang, bisa tumbuh subur dan mengganggu kesehatan manusia bila menemukan tempat dan kondisi yang sesuai. Memang daya tahan tubuh manusia yang satu dengan lainnya berbeda-beda. Namun, ditinjau dari kacamata kebersihan dan kesehatan, hidup bersama binatang kelihatannya tidak menyehatkan. Memang virus ini menurut penelitian tidak menular lewat gigitan melainkan dengan interaksi dengan binatang pembawanya. Kemungkinan besar Ibu tertularnya pada saat kucing-kucing ini tinggal di rumah.
Sebagai bukti medisnya, hasil CT-Scan terakhir kepala Ibu, ternyata besar pengapurannya di kedua bagian, masing-masing di otak kecil bagian kiri dan kanan, sudah berdiameter sekitar 20 mm atau 2 cm. Bandingkan dengan besarnya otak kecil yang hanya beberapa cm lebih besar, di dalam naungan otak besar. Maka tidak mengherankan bila frekuensi kejang yang dialami Ibu sudah sangat sering dan fatal.
Dari literatur lain yang saya baca, gejala terkena toksoplasma terlihat antara lain : pada wanita usia subur bila hamil sering keguguran, atau bila anak lahir dengan cacat permanen seperti organ tubuh yang tidak lengkap (misalnya mata hanya satu), juga pembesaran kepala (hidrosephalus). Sedangkan gejala lainnya seperti yang dialami ibu, yakni pengapuran di dalam otak dan syaraf.
Oleh karena itu, saya senantiasa mewanti-wanti keluarga saya dan juga kawan-kawan, agar jangan hidup bersama dengan binatang dalam satu rumah, apapun itu binatangnya. Baik kucing, anjing, burung, kelinci, hamster, kura-kura, ular, kadal, dan berbagai jenis binatang lainnya. Sayang binatang itu wajib, tetapi tidak harus dengan tinggal serumah. (SON)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H