Jalan menuju kampung adat Wae Rebo di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Seorang kawan berusaha meyakinkan, Pulau Flores tak kalah indah dari Pulau Bali, budaya maupun alamnya. Datang dengan otak penuh praduga: kering, terjal, dan panas, saya justru pulang dengan kesimpulan sebaliknya. Bahkan terbersit harap, ”Saya akan kembali lagi suatu saat nanti!”
Perjalanan itu sudah tiga tahun lalu. Namun, ikon-ikon Flores yang saya datangi ini masih sering melintasi pikiran: kampung adat Wae Rebo, sentra Kopi Bajawa, Riung 17 Pulau, Danau Kelimutu, dan persawahan Cancar di Manggarai. Semua meninggalkan kesan baik. Wajar kalau Lonely Planet, penerbit buku pariwisata terkemuka dunia, menempatkan Pulau Flores sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata terbaik dunia tahun 2015.
Salah satu yang berkesan adalah kampung adat Wae Rebo. Kampung di ketinggian yang oleh masyarakatnya diyakini dijaga oleh tujuh kekuatan alam. Saya datang dengan bekal pengetahuan seadanya, yakni bentuk rumah bak kerucut, kampung dengan hanya tujuh rumah, serta perbukitan yang mengelilinginya, seperti foto-foto yang banyak beredar di internet.
Ketika itu, saya tiba di Kampung Denge, kampung terdekat dengan Wae Rebo, di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, saat hari telah senja. Sang pemandu jalan, Yosef Katup (46), meminta kami bermalam di Kampung Denge. Sebab, Wae Rebo berjarak 9 Km dari Denge dan hanya bisa diakses dengan jalan kaki, rata-rata 3-4 jam perjalanan.
Pagi yang dinanti tiba. Hari itu cerah. Namun, rute ke Wae Rebo umumnya becek, habis diguyur hujan semalam. Berawal dengan jalan berbatu, menyeberangi sungai kecil, lalu menanjak melalui kebun kopi, semak belukar, dan tebing terjal. Udara sejuk, sesekali diselimuti kabut, dan air gemericik di banyak titik. Airnya bening dan kami meminumnya langsung.
Ada tiga pos peristirahatan di sepanjang jalur itu. Beruntung, saat beristirahat di Nampe Bakok (1.220 mdpl), kami bertemu Ersin, Siska, Risna, Felis, dan Tori, anak-anak usia Sekolah Dasar asal Kampung Wae Rebo. Mereka 'turun gunung' membawa karung berisi biji kopi, pisang, dan hasil bumi lain sebagai bekal sepekan belajar di Kampung Denge. Mereka adalah anak kampung adat yang bersekolah dan indekos di luar kampung.
Pada beberapa titik, kami bertemu turis yang jalan turun, pulang dari Wae Rebo. Sesekali kami bertegur sapa dan mengobrol kecil. Seorang turis asal Eropa mengungkap kekagumannya akan Wae Rebo dan berpesan, ”Jangan kasih mereka (warga Wae Rebo) materi. Itu akan merusak!” Kata dia, ketika warga adat mulai berorientasi pada materi, rusaklah nilai yang menjadi kekuatan dan daya tariknya.
Faktor letak membuat Wae Rebo terjaga. Syarat pendakian menyaring pengunjung lebih spesifik. Sebab tidak semua wisatawan mau mencapai obyek tujuan dengan berjalan kaki naik turun menyusuri jalan setapak sepanjang 9 Km.
Semua lelah terbayar ketika sampai di mulut kampung. Udara sejuk, kampung yang tenang, dan tujuh niang (rumah adat) yang berderet: Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Maro, Niang Gena Pirong, dan Niang Gena Jintam. Jumlahnya tak boleh lebih dari tujuh dan setiap rumah beratap ijuk itu dihuni 6-8 keluarga.
Niang Gendang Maro merupakan rumah adat utama. Diyakini sebagai tempat leluhur pertama kali datang. Tingginya sekitar 14 meter, paling tinggi di antara niang lain, dan di ujung atapnya terdapat Ngando bersimbol kepala kerbau. Kepala kerbau menjadi penanda bahwa telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat.
Segenap unsur niang memiliki arti. Bagian dalam rumah yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup yang bulat, tanpa konflik, tulus, bulat hati, dan adil. Ada pula tiang yang disebut bongkok, dua batang kayu yang disambung dan disebut Papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah ditopang sembilan tiang yang menggambarkan siklus dari janin menjadi bayi di dalam rahim.
Segenap keunikan itu membuat kampung Wae Rebo ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak tahun 2012.
Pagi di Kelimutu
Selama sepekan mengunjungi beberapa kota, mata saya terpesona oleh alam dan masyarakat Pulau Flores. Tak hanya Wae Rebo, ingatan saya terpaku pada suatu pagi di Taman Nasional (TN) Danau Kelimutu, ketika menanti matahari terbit di dekat tiga danau yang merupakan kawah Gunung Kelimutu.
”Diusahakan jalan sebelum matahari muncul ya,” pinta seorang pemandu sekaligus petugas Resor TN Danau Kelimutu, malam ketika kami tiba di Desa Moni, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, desa terdekat dengan Desa Pemo lokasi danau. Sebab, butuh waktu 30-45 menit jalan kaki dari pelataran parkir hingga puncak tugu, lokasi terbaik untuk menyaksikan matahari terbit di Danau Kelimutu, di ketinggian 1.630 meter di atas permukaan laut.
Rombongan kami tiba di tugu belasan menit menjelang matahari terbit. Namun, wisatawan asing dan domestik telah tiba lebih awal. Mereka menyiapkan kamera di dekat pagar pembatas, beberapa duduk di undak-undak tugu bersiap menanti matahari. Pengasong lalu lalang menawarkan kopi, rokok, dan jajanan.
Matahari terbit merupakan momentum paling dinanti pengunjung Danau Kelimutu. Setelah pergantian gelap-terang, pengunjung akan disuguhi pemandangan danau kawah tiga warna yang berangsur terlihat jelas seiring naiknya matahari. Oleh karena itu, keberangkatan menuju puncak patut dihitung matang.
Tak hanya tiga danau kawah, yakni Tiwu Nua Muri Koo Fai, Tiwu Ata Polo, dan Tiwu Ata Mbupu, masyarakat Kelimutu menawarkan suvenir, pentas kesenian, serta penginapan dan tempat makan. Saat menginap di Desa Moni, kami dihibur tarian perang Ayo Aye oleh grup Anakalo, tari yang menggambarkan perjuangan warga merebut lagi tanah mereka yang dirampas orang.
Kopi Bajawa
Beda Kelimutu, beda Bajawa. Keduanya menyajikan sensasi yang berbeda tentang wajah Pulau Flores. Kota di ketinggian ini terasa dingin. Apalagi, saat kami tiba, hujan baru saja mengguyur Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Namun, harum kopinya menghangatkan suasana.
Bajawa mungkin seperti Salatiga di Jawa Tengah. Kota kecil di ketinggian sekitar 1.400 meter di atas permukaan laut, berada di antara gunung, dilingkupi suhu yang sejuk. Cocok sekali untuk tanaman kopi. Kabar tentang kopi Bajawa yang tersohor sampai ke luar negeri menarik kami berkunjung ke kebun-kebun petani.
Hari itu, saya berkunjung ke kelompok tani Fa Masa, dan bertemu sang ketua, Laurensius Soi. Fa Masa memiliki 116 petani kopi anggota dan berdiri sejak tahun 2004. Fa Masa adalah salah satu pemasok biji kopi berkualitas ke eksportir yang memasok kebutuhan Amerika Serikat. Kata sejumlah petani, permintaan ekspor bisa mencapai 1.000 ton per tahun, tetapi kopi kelas satu yang dihasilkan petani baru sekitar 350 ton per tahun.
Sore itu, sejumlah anggota Fa Masa menghidangkan beberapa gelas kopi produksi mereka. Sambil mendengar petani berkeluh tentang modal yang terbatas, ambisi lolos sertifikasi, dan pemacuan produksi, kami menikmati kesejukan Bajawa dengan segelas kopi. Ahhh…entah berapa gelas telah ludes.
Selain kopi, Kabupaten Ngada punya potensi wisata lain, kawasan Taman Laut 17 Pulau. Jaraknya sekitar 70 Km di utara Bajawa. Bisa ditempuh dengan perjalanan darat bermobil sekitar 2,5 jam. Relatif 'tersembunyi' karena akses jalan yang kurang prima, tetapi laut, pasir, dan alamnya tak kalah luar biasa.
Kawasan itu memiliki 17 pulau: Rutong, Sui, Taor, Wire, Telu, Bampa, Sui, Meja, Halima, Patta, Kolong, Lainjawa, Besar, Dua, Ontole, Pau, dan Borong. Beberapa yang kerap dikunjungi adalah Pulau Kolong yang dihuni kelelawar serta Pulau Rutong yang berpantai pasir putih dan laut yang jernih. Beberapa titik perairan di sekitar pulau-pulau itu juga menjadi obyek penyelaman dan snorkeling.
Di wilayah lain Pulau Flores, yakni di Cancar, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, ada 'sawah laba-laba'. Di sini, ada lingko (tanah milik bersama) yang merupakan tanah ulayat yang dibagikan ke warga kampung sebagai sumber penghidupan, bisa berupa sawah atau kebun. Warga setempat menganut filosofi 'gendang one lingko pe’ang' atau satu kesatuan utuh rumah sebagai tempat tinggal dan tanah adat (lingko) sebagai garapan yang dikuasai dan diwariskan turun temurun.
Pembagian lingko menggunakan jari dengan satu patokan di titik tengah. Lahan dibagi berdasarkan jumlah penerima hak lingko dalam satu kampung. Warisan agraris ini masih tersisa di Manggarai dan menjadi daya tarik wisata tersendiri di tanah Flores.
Di ujung barat Pulau Flores, tumbuh obyek wisata yang telah sohor, Labuan Bajo! Kawasan ini berkembang karena posisinya sebagai penghubung ke Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Habitat komodo ini semakin ramai dikunjungi wisatawan.
Bercerita tentang keelokan pulau ini sepertinya tak akan pernah habis. Ayo datang ke Flores!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H