Mohon tunggu...
Mukhamad Kurniawan
Mukhamad Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh -

Buruh. Seluruh tulisan mewakili diri. Mari menyalakan lilin. Bukan mengutuk kegelapan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mensyukuri Cipali

22 Juli 2015   17:13 Diperbarui: 22 Juli 2015   17:25 2624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gerbang Tol Palimanan"][/caption]

Cita-cita membangun tol Trans-Jawa kini barangkali sebangun dengan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dulu. Di awal tahun 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels mengidamkan ”trans-Jawa” penghubung kota-kota utama. Belakangan, jalan bikinan Daendels yang membentang 1.100 kilometer dari Anyer di ujung barat dan Panarukan di ujung timur itu, menjadi urat nadi ekonomi.

Awalnya, Jalan Raya Pos memang dibangun untuk kepentingan pertahanan, yakni mengantisipasi kemungkinan serangan Inggris. Namun, dampak ekonomi langsung terasa karena arus sumber daya jadi lebih deras dengan adanya jalur transportasi yang baik. Konon, setelah Jalan Raya Pos selesai, waktu tempuh dari Batavia ke Surabaya berkurang dari satu bulan pada musim kemarau menjadi 3-4 hari saja.

Pada pertengahan tahun 2008, saya berkesempatan mengikuti ekspedisi Anjer-Panaroekan Harian Kompas. Ketika itu, Jalan Raya Pos tengah ”berulang tahun” yang ke-200. Tim menyusuri kota-kota di sepanjang jalur, merekam denyut, dan melihat perubahan dari masa ke masa.

Sebenarnya, saat itu pula rencana membangun tol trans-Jawa terdengar, bahkan sejak beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah berulang menyampaikannya, antara lain pembangunan ruas tol Cikopo-Palimanan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, Batang-Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi, dan Ngawi-Kertosono. Namun, apa yang terjadi sungguh jauh dari target. Tenggat waktu terus molor. Mayoritas karena alasan pembebasan lahan.

Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) memang lebih maju dibandingkan ruas lain. Saat kabar tentang ruas lain belum terdengar, pembangunan Tol Cipali telah lebih dulu berembus, bahkan sebagian lahan telah bebas. Pada Kamis, 18 Mei 2006, Gubernur Jawa Barat ketika itu, yakni Danny Setiawan, memulai sosialisasi pembebasan lahan dan pembangunan Tol Cipali di Purwakarta, Jawa Barat.

Sejak sosialisasi itu, berita tentang pembangunan Tol Cipali timbul-tenggelam. Sesekali muncul saat ada perkembangan soal pengadaan tanah atau saat ada penolakan dari pemilik lahan soal harga penawaran atau pro-kontra tentang rencana pembangunan tol itu sendiri. Setelah itu redup dan hilang dari pemberitaan.

Warga di sekitar jalur tol bersukacita. Harga tanah beranjak naik. Beberapa kebun rambutan, sawah, atau pekarangan rumah diincar pembeli. Tengok saja lahan perkebunan dan persawahan di daerah Pabuaran, Cipeundeuy, dan Kalijati di Kabupaten Subang yang sejak itu berubah jadi pabrik. Kawasan industri segera terisi. Perumahan tumbuh subur.

Hingga tahun 2009, jalan tol yang didengungkan tak kunjung terbangun. Tak ada penanda fisik kecuali cerita tentang pembebasan lahan yang tak kelar-kelar. Baru pada kurun 2011-2012, satu dua jembatan dibangun dan lahan-lahan dikosongkan, seperti di daerah Bungursari, Campaka, dan Cibatu di Kabupaten Purwakarta yang sebagian di antaranya adalah perkebunan karet milik PT Perkebunan Nusantara VIII.

Terwujud

Enam tahun meliput di Wilayah IV Jawa Barat, yakni mencakup Kabupaten Purwakarta, Subang, dan Karawang, saya meyakini tol bakal terbangun. Namun, soal kapan selesai, saya selalu kasih imbuhan ”entah kapan” pada setiap jawaban. Fisik tol belum utuh terlihat saat saya pindah tugas ke Jakarta pada Oktober 2012.

Setelah lebih dari 1,5 tahun meninggalkan Jawa Barat, kabar pembangunan Tol Cipali semakin gencar. Berulang media-media arus utama meliput dan memberitakan perkembangan pembangunan tol. Pada beberapa bulan awal, Presiden Joko Widodo berulang menjanjikan Tol Cipali bakal selesai dan bisa dipakai saat arus mudik Idul Fitri 1436 Hijriah.

Pada penghujung tahun 2014, saat libur akhir pekan, saya menyempatkan diri datang ke Purwakarta. Niatnya bersilaturahmi ke kawan-kawan lama. Alangkah terkejut saat tiba di ujung timur Tol Jakarta-Cikampek. Sesaat setelah meninggalkan gerbang tol Cikopo segera terlihat fisik Tol Cipali. Jauh berbeda dengan saat terakhir aku tinggal. Gumamku, ”Ah, Cipali sudah jadi!”

[caption caption="Pagi di Cipali"]

[/caption]

Bertahun-tahun mengikuti proses pembebasan lahan, pro-kontra pembangunan, beberapa kali menulis janji pemerintah mewujudkan tol sepanjang 116,75 kilometer itu, sampai sahut-menyahut permintaan kepala daerah yang menginginkan gerbang tol di wilayahnya, tetapi tanpa bukti fisik pembangunan, rasanya seperti mengerjakan hal sia-sia. Namun, setelah dua tahun saya tinggal, fisik tol terbangun. Lebih cepat dibandingkan perkiraan saya.

Hingga beberapa bulan kemudian yang terdengar adalah kabar bertubi-tubi soal pengerjaan ”marathon” Tol Cipali. Jembatan, underpass, dan simpang susun terbangun. Rambu jalan, penerangan, dan belakangan area peristirahatan dikebut untuk mengejar hajat mudik Lebaran tahun 2015.

Sejak itu, saya meniatkan diri mudik dengan membawa mobil sendiri untuk balik ke kampung halaman di Semarang, Jawa Tengah. Ini rencana pertama sejak pergi merantau di tahun 2004. Sebelumnya, hampir setiap kali pulang kampung, saya dan keluarga mengandalkan kereta api atau pesawat untuk mudik karena takut tersiksa kemacetan di jalan raya.

Selain janji waktu tempuh sampai Cirebon yang 1-2 jam lebih cepat, saya pengin menyusuri jalanan baru yang katanya jadi ruas tol terpanjang di Indonesia itu. Lebih dari itu semua, ada perasaan nostalgia melintasi daerah-daerah yang sebelumnya pernah saya telusuri ketika wujudnya masih kebun, ladang, atau sawah.

Melintasi

Barangkali cita-cita mewujudkan tol Trans-Jawa masih lama terwujud. Namun, menyusuri jalanan baru Tol Cipali, lalu melihat langsung ruas Pejagan-Tegal yang masih berdebu tetapi sudah bisa dioperasikan dan tampak wujudnya, muncul keyakinan bahwa harapan itu dekat dengan kenyataan.

Cerita positif dari tetangga, saudara, dan teman yang telah mencicipi semakin membangkitkan hasrat saya melintasi Cipali. Apalagi seorang kawan berujar telah merampungkan 468 kilometer perjalanan Jakarta-Semarang melalui Tol Cipali hanya dengan 7,5 jam pada Senin (13/7/2015) atau H-4 Lebaran 2015. Saya sekeluarga pun meniatkan mudik sehari kemudian, yakni pada Selasa (14/7/2015).

Kami berangkat dari daerah Pamulang, Tangerang Selatan, pukul 01.00. Barangkali aneh, tetapi kami sengaja memilih waktu keberangkatan yang menurut kami tak lazim untuk menghindari penumpukan atau kemacetan. Rupanya benar. Waktu baru menunjuk pukul 02.15 saat kami tiba di Cikopo. Dan, di luar perkiraan, kami tiba di area peristirahatan Tol Cipali di Kilometer 166 pukul 04.00! Itu berarti hanya tiga jam menempuh rute Jakarta-Cirebon!

Tiba di area peristirahatan, mobil-mobil pemudik berjajar di area parkir. Orang-orang mengantre di toilet, dan sebagian bersiap makan sahur di kedai-kedai yang telah beberapa hari beroperasi. Sebagian beristirahat di kendaraan.

Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah shalat subuh. Saya membayangkan mendapat ”bonus” pemandangan di sepanjang perjalanan ke arah timur ini. Benar saja, mentari yang akan muncul, tepat di seberang kemudi, menghadirkan warna jingga di cakrawala. Kanan-kiri jalan Tol Cipali di sekitar Palimanan menyuguhkan siluet Gunung Tampomas dan Ciremai di sisi selatan, persawahan di kanan-kiri, dan pepohonan.

[caption caption="Gunung, sawah, dan permukiman di sisi luar Cipali"]

[/caption]

Kami merekamnya dengan kamera yang kami pasang di kaca depan. Ada foto siluet jingga gerbang tol Palimanan, video perjalanan yang relatif lancar, serta beberapa sudut yang kami arahkan ke sisi luar jauh yang menurut kami indah, termasuk jalan darurat yang menjadi “bonus” tak biasa selepas Pejagan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Ruas Pejagan-Kaligangsa yang berkerikil, berdebu, dan ”gelap” menjadi fase menantang pada perjalanan mudik kali ini. Mobil-mobil melaju pelan, tertutup pekatnya debu, serta suara kerikil yang menghantam bagian bawah kendaraan. Lampu hazard berkedap-kedip menjadi penanda.

[caption caption="Jalur darurat Pejagan-Kaligangsa"]

[/caption]

Hingga tiba di Semarang pukul 12.30, perjalanan kami aman. Menurut kami relatif lancar jika dibandingkan pemudik lain yang melintasi Tol Cipali pada Rabu (15/7/2015) atau Kamis (16/7/2015). Ini menjadi pengalaman tersendiri.

Bagi saya, arus mudik dan balik adalah ujian awal bagi Tol Cipali. Kelak, seperti halnya Jalan Raya Pos, jalur Cipali bakal menjadi sepotong nadi yang menopang ”sistem saraf” ekonomi Pulau Jawa. Teramat penting untuk menopang pergerakan orang dan barang. Selamat melintasi Cipali!  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun